Home | Vol 11 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com
Pameran Seni Serat Berlima
(Biranul Anas, Dian Widiawati, John Martono, Kahfiati, Tiarma Sirait) Pameran berlangsung Rabu, 6 Maret s/d 31 Maret 2002
|
Serat b |
Lima perupa ITB ini memperlihatkan perkembangan mutahir seni serat kita, yang masih dominan menggunakan medium benang. Mereka belum dapat sepenuhnya meninggalkan tapestri, yang bertolak dari tradisi tenun dan rajut. Namun, pada pameran yang berlangsung di galeri Lontar Jakarta (7-31 Maret 2002) ini dapat melihat pelbagai eksperimentasi lain yang tegas mengarah ke perkembangan kria kontemporer. Salah seorang diantara mereka bahkan mencoba menempatkan seni serat pada fungsinya sebagai gaya hidup metropolitan, khususnya dunia mode.
Sweet Lolly-Lontar Gallery 2 |
Dian |
Pameran seni serat belum begitu sering kita saksikan, dan kalau pun ada lebih sebagai penumpang pada peristiwa pameran seni atau kria kontemporer yang menyajikan keragaman dalam wacana seni rupa. Kita misalnya pernah melihat seni serat pada JADEX 1992, Media dalam Media 1999, Pameran Kria dan Rekayasa 1999, Pameran Kria Kontemporer Indonesia 2001 dan lainnya.
Lima perupa seni serat yang berpameran di galeri Lontar ini antara lain; Biranul Anas, hampir tiga dekade menekuni seni serat tanpa henti, dan paling banyak mengikuti pameran. Ia satu-satunya dari Indonesia yang pernah mengikuti Triennale Tapestry di Polandia. Sementara empat lainnya adalah generasi muda seni serat yang karya-karyanya lebih progresif. Semua adalah lulusan studi Desain Takstik FSRD ITB, yang kini dalam proses mengubah diri menjadi studi Kria Tekstil.
Biranul Anas banyak menampilkan media campuran di di atas tenun. Karyanya terasa puitik dan cenderung format vertikal. Tapi, nampaknya ia tak ingin terjebak dalam kecendrungan terlalu manis, dan sekadar enak dipandang mata. Pada sebagian karya lainnya, ia meredam keriuhan warna dengan bentuk-bentuk geomatris dan dekoratif. Di sini kita menikmati pencapaian irama, komposisi, haromni, dan sekaligus kontras.
Asikin and John |
Dian, Tiarma, Biranul Anas and John (Kahfiati) |
Ketrampilan teknis dan pengolahan medium yang sangat intens, merupakan sisi menarik pada karya-karyanya. Ia misalnya bisa setangkas pelukis dalam mengolah warna dan bentuk, dengan material yang hanya dijalin, diikat. Ini merupakan teknik tapestri paling tua dalam seni serat, dan menjadi dasar pengembangan sejumlah karya-karyanya. Anas juga berupaya ke luar dari kelaziman, misalnya membuat sejumlah tapestri dengan menghilangkan struktur horisontal, dan membiarkan struktur vertikalnya saja, sehingga nampak terawang seperti tirai. Ini terlihat umpamanya pada karya Roto II dan Kisi-Kisi Biru (2001).
Dian Widiawati, seperti membawa misi lingkungan, mengembangkan karya lewat serat alam. Ia berangkat dari sampah tanaman pisang, yang tidak produktif lagi. Dari sini, ia memberi nilai baru pada material lokal yang mudah didapatkan di pelbagai tempat itu. Semangat menjaga lingkungan, itu juga nampak pada penggunaan zat warna yang didapat dari alam, seperti kunir, sirih, secang, mahoni, indigo, gambir dan kesumba. Material ini di masa lalu dipakai sebagai pewarna pada kain tradisional. "Saya berusaha mengurangi pemakaian zat yang dapat merugikan lingkungan," ujar Dian menegaskan sikapnya.
Sementara Kahfiati menampilkan karya-karya yang cendrung dekaoratif. Ia tertarik pada medium sutra. Adapun John Martono, menggunakan benang wol.
Kendati masih membuat beberapa tapestri, ia juga mencoba merambah ke bentuk-bentuk bebas dari benang-benang itu. Ia menampilkan pelbagai percobaan, seperti yang umum kita lihat pada kecendrungan kria sehari-hari. Ia melihat benang sebagai material bebas yang tak harus terikat pada citra tertentu saja.
Tiarma Sirait masuk ke dalam budaya massa. Ia menempatkan seni serat ke dalam fungsinya pada kehidupan metropolitan, yang gila mode. Kekongkritan kuat terlihat pada karya-karyanya, diantaranya berupa pakaian, sepatu, sarung kursi, sarung meja, dan topi. Semua terbuat dari bulu. Ada juga karpet yang dikerjakan dengan teknik pile wave. Tiarma sesungguhnya membuat parodi metropolitan, dengan meminjam idiom dunia mode yang serba artifisial dan penuh ironi.
Kelima perupa ini dalam pengamatan Asikin Hasan, kurator galeri Lontar Jakarta, kuat memperlihatkan keragaman dalam seni serat kita. Namun dalam segi medium, mereka nampak punya mura yang sama, khususnya menggunakan benang dan material yang kurang lebih dekat jenisnya dengan itu.
Luasnya medium serat, seringkali menggoda kita untuk bertanya. Kenapa mereka tidak mencoba medium lebih keras? Misalnya, serat gelas, serat baja dan lainnya yang dapat membuat karya tidak hanya digantung, tapi bisa ditempatkan di lantai, ditata dengan segala macam kemungkinan. Instalasi seni serat, barangkali.
Tiarma and Goenawan Mohamad |
Perkembangan seni serat
Karya-karya seni serat pun belum cukup banyak. Kenyataan menunjukkan karya yang dipamerkan itu-itu saja, sebagian besar telah ditampilkan berulang kali di tempat lain. Ada keengganan dikalangan perupa yang umumnya memilih seni lukis, masuk ke media baru yang dalam prosesnya cukup makan waktu dan keahlian khusus ini.
Lulusan Desain Tekstil FSRD ITB yang memiliki tradisi paling dekat dengan seni serat, bahkan lebih memilih jalan aman, bekerja pada industri, berwiraswasta, menjadi dosen atau birokrat kampus. Ragu masuk ke arena laga, takut membuat ekperimen dan berkarya bebas di luar order, yang dapat memperkaya wacana seni serat. Jumlah kendala menyebabkan sulitnya melahirkan perupa serat, salah satunya suasana tidak kondusif dunia perguruan tinggi seni rupa kita.
Seperti diketahui, studi desain tekstil dibangun pada tahun 1972 di ITB, itu tak ditujukan dalam rangka 'sen pakai', melainkan diarahkan pada 'seni terapan' bisa juga disebut "seni pakai" atau "desain", yang orientasinya melayani kebutuhan industri perkotaan, umumnya industri tekstil. Walaupun di sera 80-an muncul perupa seni serat dari sana seperti; Yusuf Affendi, Biranul Anas, Ratna Panggabean dan lainnya, itu bukan tujuan, melainkan hanya efek samping dari pendidikan desain tekstil. Di bidang seni serat, boleh dibilang mereka berkembang secara otodidak.
Kehadiran perupa seni serat tidak dapat dilepaskan dari tumbuhnya cara pandang baru di arus utama dalam melihat gejala rupa. Pemandangan baru itu mulai nampak pda akhir 50-an dan awal 60-an yang menenggang seluas-luasnya keragaman dalam berkarya. Di masa itu istilah new fiber (seni serat baru) telah menjadi pembicaraan di Amerika dan Eropa Tengah, salah satu produknya tenunan tapestri.
Gelombang besar perubahan ini menaikkan citra baru seni serat. Pada 1969 untuk pertama kali, dibawah bendera Seni Serat Kontemporer Amerika, seni serat masuk ke ruang pamer bergengsi Museum Seni Modern, New York City. Sebelumnya pada 1962, telah berlangsung International Biennial of Tapestry di Switzerland.
Menyusul beberapa peristiwa penting, diantaranya sejak 1972 International Textile Triennial-Art Fabric & Industrial Textile, Polandia. Lalu, International Exhibition of Miniature Textile, British Crafs Center, London, UK, International Biennial of Miniature Textile, Hongaria.
Di Jepang selain mendapat inspirasi dari perkembangan baru ini, juga banyak dipengaruhi Gerakan Seni Rakyat (Folkcraft Movement) yang dalam bahasa Jepang disebut sebagai Mingei. Pada 1956 muncul Asosiasi Desain Kerajinan ( Japan Designer Craftsman Association) Berikutnya karya-karya tapestri mulai ditampilkan, terutama di Museum Seni Modern, Kyoto. Pengaruh perkembangan baru dalam seni serat ini segera merebak kepelbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Asikin Hasan.
Biranul Anas |
Tiarma D.R. Sirait
Designer POLENG "One Style One Individual"
Jl. Pasirmuncang F10 Komp.PPR ITB, Dago Bengkok
Bandung 40135 - INDONESIA
Ph.: +62 22 2504013
Fax: +62 22 2516473
HP: +62 818 211129
http://welcome.to/poleng