Home | Vol 11 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com
Poetry
My Son and the Pool
My son threw a little stone
Into the pool creating its arrogance
"Dad, I don't have my shadow again"
Indonesia, May 1st. 2002
The Climber's Pray
If I've been climbed on Your mountain
Of course, You won't permise my played flag of wind
But the signal You give forever
Through its language of fire
Indonesia, May 1st. 2002
sri achmad gun_gamping@yahoo.com.au
Sorrow Song
Goodnight my darling
adorned with roses slipped between the covers
We cannot keep what lies in endless sleep
in dreams you will see a dream beyond paradise
to fill the silence like no other
Melting into the power of light
The wind escorts our dreams
obscured by laughing and weeping
a symbol of the limitation of our knowledge
along the shore of destiny
Returning to the marrow of the mother earth
returning to the marrow of the mother
from the land of dreams
loose like sand
Calling into my heart to come
a cool lake paddling towards fate
what is revealed in the shadows
tell this to me alone
Let me hear the answer
by Pamela Hardy
BELAJAR MENCIUM TANGAN IBU
Mengaji waktu, berabad lalu telah kita pangkas
musim yang keras dan dingin, sehabis kecut angin meluruhkan
nyanyi daunan sampai juga mencium hulu tanah
Ibu, anakmu masih menetek pada puting malam
mencecap basah nafasmu
sepanjang denyut gerimis membasahi jam jam pasir
yang menggeraikan jalinan usia
Ketika alamat yang kau tepukkan dipundak tersaruk lipatan
kabut, diam diam kau sisakan susu cahaya
tapi, Ibu, anakmu terus merenangi remah kesunyian tanpa peta
terambing ombak fatamorgana
doa doa hanyalah tetiang kelabu yang terbakar
disimpang pagi tempat anak anakmu kembali menggadaikan kenangan
dengan wajah kapasnya mengubur impian semalam
Tinggal jejak purba mewariskan tahun tahun luka
kematian yang tersimpan pada isyarat bulan dan garis tangan
sebagaimana giras kemarau memburu masa silam
anakmu terkapar di tepian senja yang gagap, Ibu,
rinduku mencium tanganmu sebelum mengamini sendiri catatan
sejarah menuliskanmu sebagai kekasih tanpa airmata
tanpa airmata.
Jogjakarta, Oktober 2001
CATATAN KAUM PRAGMA
orang-orang yang menggenggam pecahan mimpi
selepas lelah mebuka hari hari tembaga
dimatanya kubur telah disiapkan sepanjang arus kota
menyeret keyakinannya
orang-orang yang berjalan tanpa mata kaki
tersesat arah pulang
ketika gemuruh jaman menawarkan kegetiran
hidup telah mati dibulan pertama
orang-orang yang membangunkan berhala
dari kastil-kastil purba
menarikan kecemasan sepanjang dinding malam
: melepuhkan luka dan airmata
orang-orang yang menebas Tuhan
dipersimpangan jalan
jantungnya robek tertikam pisau dendam
mengucurkan darah kekasih
orang-orang yang kembali mengurung hati
dengan sisa peperangan di keningnya
menulis sejarah dengan nanah dan bacin nafas
tapi aku, mati dalam bisik-bisik !
Jogjakarta, Oktober 2001
FRAGMEN NEGERI KABUT
Menapaki jejak peristiwa
Adalah membaca peta seribu tanda
Di langitku ada marah begitu sempurna
Memberangus tiang-tiang impian
Yang kita dirikan dari iga-iga sesaudara
Malam pecah
Orang-orang menabuh genderang
Memburu Tuhan dengan segenggam belati
Dendam, sambil mengepalkan teriak kemenangan
Berhala-meledakan api semerah purba hatinya
Lalu kepada siapa kau tawarkan
Kecemasan anak cucu, bagi kematian cinta yang
Disakralkan oleh air mata nenek moyang
Sedang duka terus memayungi cakrawala
Negerimu yang pekat kabut
O,. beginikah selalu kita kembali
Menziarahi sejarah dengan tangan gemetar
Menanam luka setiap jengkal tanah
Legam, menebar mawar hitam
Di atas nisan peradaban
Jogjakarta, Juli 2001
KUTEMUI ENGKAU DISETIAP LIPATAN SUJUD
Belum kulipat sajadah
Orang-orang mengusung mimpi
Dalam keranda menuju langit
Sesekali jeritnya nglengking
Menusuk kulit bumi
Peradaban sarat luka
Yang menawarkan sia-sia
Tapi malam masih khusuk
Mentasbih bintang dalam getar gerimis
Diubun-ubun masjid yang kubangun
Dengan cacahan doa dari tahun luka
Dan slalu kutemui Engkau
Disetiap lipatan sujudku.
Jogjakarta, 2001
KITAB BATU
Sungai yang mengikis tebing usia
Pada arusnya kutitipkan isyarat
:perjalanan kata-kata
Tak kan surut memecah muara
hingga sajak
Kupahat dijantungmu
Menjelma kitab-batu kesendirian
Menggenangkan lumpur
Impian
Hidup yang tersingkirkan!
Jogjakarta - Bekasi 2001.
STASIUN YANG KAU TUNGGU
Masih kusulam tangismu dalam saku
Gerbong yang pucat, mengangkut kekalahan
Diantara bangku-bangku kosong
Tak sempat kutitipkan sejarah
Hidup membeku pada hisapan rindu
Yang candu, kesunyian kembali mengawali
Hitungan peluit impian yang membentur jendela
Melepasmu lebih cepat mengukur jarak
Kematian, sepanjang stasiun tak kau singgahi
Jogjakarta - Jakarta, 2001.
ASMARAMAYA
yunie wahyuning
pada sekotak senja yang kau tawarkan
tanpa pelangi, aku terus mendedah keras musim
jejak malam tanpa kecupan
menyisakan remang wajahmu-menjelma bola kabut
kegetiran,
diam-diam membangun masa silam
engkaupun berangkat menyalami kemarau
sepanjang gelombang rambut
tapi
lukaku telah lama melepuh dibulan
jangan kenang, sayang
lelaplah pada mimpimu
tentang melati yang belum sempat kupetikkan!
Jogjakarta - Jakarta, 2001.