Home | Vol 14 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Poetry by DHENY JATMIKO

Dheny can be contacted at: milansatmikawa@plasa.com

PERAJAM MALAM

Malam terpampang sekarat menua,
adalah jurang bayangan yang mengkarang.
Mimpi kini makin bertaring,
dari angin yang mengurai matamu,
kering, seperti debu-debu yang mengalir,
melebihi getar jampi-jampi berapi;

dunia tengah kau rajam tengah malam,
hingga darah tengadah, merajut maut
dan setan berlesatan dari kembang,
memencarkan cahaya-luka ke udara;

berupa seberkas perlambang:

dari gerak tanganmu berkelebatan cerita,
jalan malam serupa lukisan matamu yang ternganga
membentuk warna-warni sungai dari kenangan bulan.

Melihatmu merintih,
cahaya penglihatanku kian menjelma badai
mantraku mengaduk wajah bayanganmu yang sekarat.
Kengerianmu tak menggubah pisau-malam.
Bahkan kata-kataku menyerupai auman srigala
dan rintihanmu membeku dalam angin yang tersisa.

Barangkali, ketika langit bersayap putih, tak berbuih
lekukan-lekukan duniamu kubaca dengan tubuh bernanah
yang mejelma sebuah kisah:

setapak yang berlumut
dan lukisan darahku di langit,
mengambang, seolah arwah-arwah malam.

Bandung TA, 1 September 2002.


"BULAN KUMUH"

Melihat bulan kumuh dari cekungan jendela
seperti melukis kembali deritamu
--masa lalu ini
mungkin berbentuk awan:
tubuhmu berwarna biru di kepungan kabut remang
memar tertusuk semburat cahaya yang amat menyakitkan
dan aliran mimpimu
lumpuh
terbunuh
seperti penampakan raut bulan yang kuyup dalam kabut.
Gerak awan pun kian membius malam.
Tubuhku kian membeku
namun di sepoi yang tipis
kudengar ingatanku
melesat
melebihi langkah bulan yang terluka,
berlari sendiri
tanpa cahaya
mengaduk awan dalam tubuh bulan.

Jjn-SC-KM, 11-13 Agustus 2002.

MELIHATMU MELEDAK DI TANAH RETAK

Melihat tanah-tanah terbakar
tersangkut di lengkung-lengkung bibirmu
basah oleh api hujan,
seperti mengenali kembali kepala yang tercecer dalam tubuh
matahari,
seolah jerit senja
yang tengadah dalam jurang.

Mungkin di sini duniaku meledak,
cerita isakku yang parau
dalam sangkar debu-debu panas
yang mencakar kecemasanaku di cekungan angin,
dan terbui.

Pada kelepak senja kulukis abad-abad terakhirku
dari musik yang mengawali pengelanaan
deritaku,--

bayanganmu meledak-ledak
dan api berloncatan dari bibirmu yang culas
seperti tusukan hujan-hujan menjelma hantu--

ketika tubuhmu adalah letupan awan merah
yang menguarkan tanah-tanah bernanah.
Pesonamu raib!

Bilur tanah-tanahku yang menggumpal
tak pernah kau kenali dalam penglihatanmu yang memudar
dan seluruh raut kepalamu menyusut
melebihi garis-garis pestapora senja
seakan tak kau cium memar warna ungu di sudut fantasiku.

Dalam keterasingan ini bayanganku bergetar
ingin meremas urat-urat langit di bibirmu,
yang mengawali seluruh gerimis berasap hingga
memenggal fajar di keningku,
dan ruhmu semakin menderaskan arus
terus meletuskan ludah-ludah api
untuk kekekalan kata-katamu.

Bandung TA, 31 Agustus 2002.

KIASAN DALAM HUJAN

Bagi seorang
yang terbuai
matahari!

Hujan-mata tengah memecah alur darah kepala
dan dunia yang kubentuk:

dari kiasan ayat-ayat yang menyayat,
impianku kian menggubah beribu gambar,
cakrawala yang kukurung dalam jantungku.

Namun penglihatanmu adalah tetesan yang memudar
seperti bangkai sehelai sungai kering,
hanya melukis bilur berwarna ungu.

Sementara bayanganmu yang kuyup
melebihi keangkuhan langit,
tengah membendung liuk matahari
--ketika isakmu kau rendam menjadi abu--
membentuk mendung
di riuh kebodohan yang memencar ke udara gelap.
Mungkin wajahmu merah
dalam tusukan hujan
dan tak pernah kau dengar pekikan kiasan-kiasanku.

Barangkali, tak pernah kau capai pahatan darah di langit
anyir yang menguar telah membeku,
ketika tubuhmu tak kau remas
menjadi gumpalan-gumpalan kata yang memudar,
impian
duniaku
kian meraung dalam hujan
menjadi tubuh-tubuh basah
tak bermakna
di matamu.

Bandung TA, 31 Agusutus 2002.

KISAH DARI LANGIT

Alur kata-kata dari langit adalah kisah yang menyanyat
tubuhku. Tapi makna pengelanaanku tak pernah terbaca
dan aku hanya bermimpi dalam udara; tubuhku bercahaya,
seperti angin. Masih aku memencarkan impian tentang akhirku

dalam tubuh langit ketika dunia ini merubah musim.
Pada sepercik kisahmu, impianku mengembang.
Tapi rautmu tetap hitam, di mana malam
mengekalkan kegaiban akhir kisahmu:
kata-katamu tanpa sebuah perlambang
ketika darahku kau alirkan dari retakan-retakan tanah
meski ujung langit adalah fatamorgana dari hujan,
bayanganku menyeruak dalam badai
dan membeku di kegelapan langit yang tersisa.

Dalam impianku, tak pernah kau maknai rintik hujan --
di mana tubuhku bergetar,
melebihi gerak-gerak awan yang teluka,
pengembaraanku menjadi lukisan dengan bilur-bilur hujan--
di malam yang ternganga,
mungkin akhir ini adalah kesenyapan yang menyanyat.

Sby, 24 Agustus 2002.

MENZIARAHI OMBAK

Tetap kurindukan kecantikanmu, di ombak yang mencipta lagu.
Kau nyalakan lentera kesangsianmu. Sementara tangisanku
rebah di tanah sampai isak ombak melebihi gerimis-angin.
Pasir-pasir impianku mengapung di laut ---

lagu isakku kian bergelombang. Namun kesangsianmu
terus meraungkan srigala dalam lipatan malam.

Di pasir ini aku hidup. Tapi kau tetap melesat
dari pulau ini ---meski tangisanku menjadi hujan
dan jiwa kata-kataku merenta.
Kau intip impianku dari bukit
di mana seluruh tubuhku tersungkur dalam riak ombak,
dalam badai sunyi,
dalam sepoi yang berduri---
dengan perahu yang penuh buih,
abad-abad badai tak menyisakan apa pun,
hanya kenanganmu:

Hanya ada lukisan keangkuhan langit dan ombak berdesir.
Rintihanmu menjadi musik ombak,
wajahmu adalah warna-warni laut,
wajah yang menyayat.

Kecantikanmu, juga kesangsianmu,
segera membuat panampakan laut menjadi maut,
menjadikan keangkuhan basah,
basah dalam kenanganku yang lembab
terkikis
pesonamu yang mendeburkan ombak.

Sby, 24 Agustus 2002.

PENYAIR LAUT SELATAN

Laut mungkin adalah dunia asing,
bayanganku turun ke dasarnya,
keterasingan menyemburkan ruh impianku
melebihi bayangan laut:
raung angin telah membentuk bayanganku dalam gelap,
kata-kata bagiku berjiwa ikan paus
dan lengkung cahaya adalah sajak --buih nyanyianku yang
perih
meleler
tak berujung.

Di sudut ombak
jiwa-jiwa perahuku dikepung kabut.
Mungkin kata-kataku telah mati,
meski masih terdengar desis angin
dari pulau di ujung laut yang menghitam,
penglihatanku memudar, pesonamu yang mengapung
tak mengenali bau wujud impianku --keterasingan
yang telah melenyapkan penampakan tubuhku.

Bandung TA, 17 Agustus 2002.

CERITA KLASIK DI PULAU MILAN

Tak pernah kau akhiri cerita ini;
mungkin jejak bulan yang menghilang
telah membatu dalam raut mimpimu
-- bayanganmu asing dan berkarat
di pojok pualau yang kian berlumut --
dan tubuh gerimis menjelma lipatan kabut.

Meski memiliki nayanyian burung Dares
uap kata-kataku hanya membentuk awan
seolah angin
-- yang kau bentuk dari hujan
meski matamu tak menyerupai lukisan senja --
canggung mencongkel nisan kegelapan
bahkan malam melebihi nisan di pulau tua ini.

Seperti jasad pohon yang mengambang di mulut jurang
derita mimpimu seolah kehilangan lereng
bukit jati:
pengelanaanmu tak pernah mengenali bulan
yang mengapung dan menguar
di lengkungan pulau yang makin memerak ini.

Jojoran Sby, 2002.


MANTRA DALAM HUJAN

Buat Adipati Karna

Tanah penampakan lain dari badai.
Ketika bayanganmu membusur tipis dari timur
kudengar auman angin
-kepungan pasir mengekal dalam tubuh hijauku-
dan mantraku yang menunggangi langit
serupa bukit dengan lanskap hujannya
mata-lusuhku melukis sepotong awan
dan keterasingan mengaduk seluruh mantraku
sampai kabut memanjati raut keperakannya.

Setelah seonggok tanah dari kawah menebal
bayanganmu mencipta kawanan taufan kerontang
namun isakmu tak menjulaikan nisan keheningan
dan mantaraku yang menunggangi langit
serupa bukit dengan lanskap hujannya.

Impianmu meninggalkan isak, Bndung TA, 2002.

 

SKETSA MIMPI KAWAH MERAH
Setelah Syawal pada bulan Juli

Keheningan mengapung dalam mulut jurang
・setelah bayanganmu melesat dari kawah merah dan
menggembung
melebihi urat-urat bukit--
ranting tak berkepala menjulai
sungsang !

Dalam pestapora mimpimu yang menguar
melebihi kastil renta dan kian kering
kubaca sisa-sisa tulangku:
dinding hitam tubuhmu --
muasal derita hujan
yang kubentuk dari pelangi--
memasung seluruh asap jasadku.

Seperti cadas yang meranggas,
masa laluku kau bunuh
dengan gerusan kesendirian kawah-merah-kegaibanmu.
Apakah kabin mimpimu melebihi bukit pinus
ketika bayanganku menjelma beliung kering
dan tubuhku yang semburat di udara
adalah sepotong kegelapan yang mengabu ?

Bandung TA, 2002.


MEMORY DI KOTA VENEZIA

Pada kepungan air ini terlukiskan kembali akhir bius
tatapan
dan senyumanmu yang menembus jantung-jantung Geranium
ketika gumpalan pelangi runtuh ke seluruh penampakan rautmu
---
dirimu menjelma cahaya,
pesonaku menjadi uap
yang pudar di langit yang berupa onggokan abu---
kusaksikan lekukan tubuhmu adalah hujan
dari impianku yang memekik.

Berabad-abad tubuhmu melebihi raut kota ini.
Penantianku kian mengekal,
dan kita pun bergondola
dengan bayang seluruh kenangan hujan;
penantian
impianku yang memberi pahatan pada langit.
Dan di kabut yang menipis, kita mengikat tubuh,
air membaur pada tubuh kita, fantasi kota mengapung di
kepala,
meski kita tak mengenali arah angin yang melesat
dan mungkin hilang seperti pestapora matahari ketika senja.

Sby, 25 Agustus 2002.

BIODATA PENULIS

Dheny Jatmiko lahir di Tulungagung, 11 Februari 1982. Sejak
tahun 2001 tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia
Unair. Banyak belajar sini dan sastra di Teater Gapus
Surabaya dan aktif sebagai anggota Tim Property Teater
Gapus Surabaya. Puisinya pernah dimuat dalam Harian Koran
Tempo (Jakarta), Suara Anum (Malaysia).
Alamat : Jl. Jaya Baya 05 Bandung, Tulungagung
Jatim, Indonesia, 66274.
Email : satmikawa@yahoo.co.jp
atau milansatmikawa@plasa.com
Honorarium pemuatan dapat dikirim ke Rek. BNI Cabang
Tulungagung
Nomor: 242.001473094.901

Home | Vol 14 Table of Contents | Previous Issues