Home | Vol 15 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Puisi-Puisi Puput Amiranti. N
LUKISAN LANGIT


Langit memang menggetarkan
Diantara dinding-dinding palsu berkelibat senyap di
serpihan sayap-sayap awan
Kau lukis sunyian lama
secerdas tiupan angin purba
dan menjabarkan gemetar mimpi-mimpi pagi dan senja hilang
Genap sesaat, setelah kau hentakkan guratan-guratan
syair ke dalam tungku-tungku nanarku,
menambun di hadapan silau embun,
memberkas semu keseluruhan jari-jari bunyi debum.
Dan akupun tetap ingin terbang
berlabuh di tepian karang bulan,
tertidur di selipan ufuk-ufuk galaksi
sampai aksara langit membukakan
derita yang jelas bagiku,dan
mengajari aku untuk -
menghitung bintang-bintang pudar.
Kala itu benar,
deru pepohonan bulan mengata-ngataiku, "pernah ada
langit beratap yang meniduri seluruh bumimu tak terucap,
mencabuti bulu-bulu kudukmu dan melemparkanmu ke dalam mulut asap-asap kering.
Nerakamu sendiri.
Gugusan yang harus kau singgahi!"
Surabaya, Agustus 2001


NYANYIAN MALAM


Dalam tiap derai-derai malam
diriku dan aku
akan selalu mengulang,
mengasuh dan melupakan dinding-dinding palsu dan
pucuk-pucuk tanggal.
Setiap pikiranku telanjang, tertampik dari jilatan cahaya
yang menuangkan belasan cengkeraman pilang,kekar,menghujam,
memasungku dalam setiap rongga mulut kurus
bintang.
Serabut-serabut tirai berkata kepadaku, bahwa sekarang
saatnya mengatup dari nyeri sembilu ati, mata pejam berkabung
melarang setiap pembuluh singgah dan mengalirkan udara angin
melankolia.
Tercipta derakan-derakan sunyi
mencumbui arah detak jam sekelilingku
ke setiap akar kata-kata angslup.
Metamorfosis kabut kamarku
dan patung-patung yang singgah di dalamnya. Membela tiap
keterbelalakanku pada malam-malam, terpicing pagi yang membenamkannya.
Kantung-kantung datang membawakanku misteri hitam gelambir,
menabuh di atas hidung semerbak firdaus kelelawar.
Kuburanku,
Kegelapan di bawah ranjang
Tempat muntahan lendir-lendir teriakan, takkan pernah usai
Sampai mayat pertapaan perempuan bangun.
Surabaya, Juli 2001


PELARIAN

Menara yang singgah di kedalamanku
mengutukku ke ujung serbuan musim
kuberlari menuju patahan-patahan hati tertusuk
reruntuhanku atas angkuhnya
Setiap gerimis datang mempertanyakan
saraf-saraf perisai waktu
berkilauan memuncratkan serabut-serabut risau
keperakan
Terbanjiri aku dengan wajah kuat tertutup
membentuk lah lingkaran-lingkaran angin lalu-Mu,
dan melemparkanku ke dalam bangkai aquaduk-aquaduk liar.
Aku tenggelam meniru batang-batang pepohonan meminum
muntahan air hujan dan
menjadi cantik karenanya.
Lama aku terpilih ---
melintasi sungai-sungai gerimis, membatu
di sekian kali engahan nafas
Jembatan mataku kukitari,
adalah akhir langkahku yang kunyatakan sendiri.
Aku memilih tidak mencari misteri hingga terlihat jelas
diriku hilang di kering seret savana.
Dan menari-nari di atas lilin-lilin pagi
sampai bait gaunku yang robek
Kau-jahit kembali
patahan-patahan reruntuhan menara.
Blitar, Desember 2001

PADA MEMOAR PILAR-PILAR MALAM
Akhirnya kita tinggal tanpa suara-suara,
seperti erangan ratusan ngengat yang mememarkan pita-pita
tenggorokan kering berasap.
Singgasana kelam melumuri nadi-nadi pikiran,
menyayati geliatan untuk setubuhi kata-katamu.
Kau bawakan aku liris nafas lahir di atas kurir-kurir
pendosa berkabung,
mengerdip di jejak-jejak kepercayaan tentang roman-roman
tubuh kaku berbangkai.
Sejarah kata melegenda di endapan bingkai patah azab
filosofismu di penghujung remuk.
Linang kicau kuil , mensosoti kekalahan
mengkerkap di sayap batin kita masing-masing.
Kau seakan mengharamkan penghayatanku
Ribuan huruf tergetas membakar diri menjelma sempurnamu.
Pilar-pilarku yang berhantu karam, bersepuh di
garam-garam jiwamu,
berseruling senyaring panggilan kepada ciptaanmu,
patung-patung arsy yang kehilangan nyawa. Namun dalam
renungmu masih kau pahat kedua mataku yang menggigil
bersama sekar-sekar bergelanyut
tumbuh!
Diantara bunga-bunga api yang berlecutan , kita lihat
badai tidak akan pernah melupakan pembuatnya
Seperti yang--terpampang dalam goresan riwayat jemarimu.
Dan ingatanmu menuju kefanaan ,
atas arca-arca mendung yang mengkristal
di ambang kepunahan.Siapakah yang menjadi budak diantara kita ?
Ledakan sangkakala menderaskan guratan jaring-jaring ----
raib,
prasasti getar. Saat bermula kesenyapan terulang di ceruk-ceruk sangkur syukurmu,
"terima kasih telah mengembalikan aku. seperti dulu."
Mungkin kau genggam ribuan parut hatiku--tak terlihat,
aku tinggal pergi dan membumbui rajutan
senyum laba-laba.
Malam lari membaca jejak, ruhku pun ada
untuk meneruskan,
"Kita telah kembali seperti dulu?!"
bersama senja yang menghempaskanku.
Surabaya, Januari 2001


DERAI DERA SANDERA

Seperti angin yang menebarkan aroma-aroma maut,
sabit jatuh menimpa serambi wajahku
genap mataku di gelap penglihatan ¾
ambang kehancuranku.
Sosok-sosok yang meniupkan bara di atas
tungku-tungku liar dan mematikan aku yang telah terbunuh,
diriku telah mengabu sebelum kau memberiku
nama,"Aku Ini Mayat."
Adalah palung melingkar di genangan dua belas rusukmu
yang kau lukisi di tepian topeng-topeng Ulysses,
kau tengak cerita ¾
mewarnai tubuh bulan yang ditangisi liur malam,
aku sembunyi,membui.
Belantara payung-payung hitam telah menjelma ketakutan yang jelas
menyergap setiap kali alun lirihnya berhasil mengikutiku
seperti periuk-periuk berasap
mencercap batin-batin tenggorokanku
kau telanjangi aku dengan perasaan kumbang-kumbang.
Diriku menjelma tak lebih dari diam,
Seorang pelacur yang menghunuskan samurai ke kelaminnya sendiri.
Dan saat kau berkata "menatapku",
aku tak lebih teriak untuk memenjara
bulir-bulir lidahku, bersarang di bibir-bibir-
kecupan keterputusasaan
remuk direjal deru lantakan meteor-meteor.
Atas segala nama riwayat,
untuk menasbihkan malam
dan selongsong keberanian di rimba terpendam,
kuciptakan kemarahan yang indah,
terjemur di tinggi-tinggi peluh umbria, dengan segenap ksatria….
kuciumi jenazahku -
yang beterbangan menuju rimba-rimba ufuk baru.
Blitar,Desember 2001


DI BELAHAN KABUT KAMARMU

Dalam senja yang beriak di bilah-bilah angin malam,
dan membisikkan cerita di bentangan batang-batang
tepian jendela kamarmu,
jasadku hangus,mengembara di benak garis malam
membawa lentera-lentera lusuh,berasap
pergi.
Gigitan cahaya menyentuhku tajam,
pada taring-taring inderanya
melengkapi penggembalaanku pada selaput-selaput
pintu selimutmu di genggaman rambut-rambut
cerobong tua ¾
liang,farji
terbakar......
Arum indap menggubat
keringat suara-suara luruh
setelah aku menampakkanku,kau mengungkapkanmu
atas khuldi-khuldi bersemanyam
kita pernah singgah.
Di ribaan partitur lirih
kau mengukir tiap helai rambutku
mengerudungi dengan bangkai-bangkai angkuh,
menghitung tiap sudut keperempuanku,dan
mengkekalkan bekas pada dadaku.
Ada terjemahan untukku yang dalam sekejap
di atas dinding-dinding ujung tombak
bersepuh darah awan kau tasbihkan ¾
untuk dirimu. Aku menghadapmu dan semua terlihat jelas
seperti lendirmu yang menggumpal.
Aku temaram di buraian pelukan
tinggal kerangka yang menusukkan iga-iganya
ke persendian syahwatmu.
Kita masih menari-nari seperti sepasang pengantin
kehilangan arwah........
Mungkin pernah kucium maut sekaligus aku tidak
ingin merasakannya,
dan maut mengutukku atas kekalahanmu
yang menjelma medan neraka taifun-taifun
bersenggama.
Api tersulut di celah-celah kelaminku,aku terbakar
dalam kobarannya. Adalah ---
kau jilati kepulannya yang mengental,
awal sekaligus akhir sinar yang
menghanguskan kabut,menghamili malam.
Seperti akhir perjalananku
mencari tepian muara gelap untuk menghanyutkan abuku
yang dapat memadamkan kabut-kabut kamarmu.
Surabaya, Januari 2002


METAPHORSE SEBUAH CINTA

Pada keindahan adalah
tangan-tangan tak sampai untuk melampaui
dengung-dengung firdausmu.
Kau tercipta,aku terbentuk dan
terkutuk di sini,
cacat oleh ketidakmampuan atas kuasa-kuasa
yang kulahirkan sendiri.
Saat ku melihat ujung langit,
dalam lukisan malaikat-malaikat penari perang
inginku merengkuh ketiadaan menjadi bagian-bagian
yang tak pernah kulewatkan
dalam kuntum genderang-genderang yang membutakan
kuncup pendengaran. Seperti kaki-kakiku yang
meleleh
di pucuk-pucuk jarum ilalang,
mendenguskan inang kehilangan ajal.
Ketika aku bertanya ¾
dimanakah cinta-cinta kulahirkan
bersama sosok-sosok yang menantikanku ¾
telah berubah,berupa onggokan mayat yang kubinasakan sendiri.
Pada akhir ¾ cinta di mana,
tempat kita ?
binasa.
Surabaya,Januari 2002


ACTION PRO PATIENT


(Pelangi Di MATA-mu!)
Pernah aku melihat ada setitik guratan embun yang menjelma
pelangi dan berbicara kepadaku, "saat yang tepat untuk mereguk mentari
dan melahirkanku persis seterang bola mata yang kukandung".
Tapi aku sebelumnya juga pernah hidup dalam serbuan belatung liar,
yang melilitkan lidah belatinya ke ujung jelmaan nyawaku, hitam, menghantuiku,
ketika kutapaki tangga-tangga pelangi untuk tidur di pelepah-pelepahnya.
Dan saat itu ranting-ranting bergerak untuk menyertakanku,
dalam buai musik yang menggangguku hidup-hidup. Sampai kutemukan henti nafasku di ujung hati pelangi.
Juga pernah aku menciptakan pelangi-pelangi yang menjelma musik-musik bagi para belatung-belatung.
Blitar, Agustus 2001

MUSTIKAWATI
Seorang perempuan
membautkan seluruh tenaga dalamnya,
terhisap
oleh sela-sela persendian saraf pembuluh
berakal
Sebagaimana Ia laksa yang
menggariskan angin-angin kuasa
di dalam sunting-sunting rahimnya
tersemai
Ia mencintai,
sajak-sajak terurai
hempas di benak kekuatan madini.
Tanpa ampas yang tersetir di bebat
pelir-pelirnya, luruh peluru.
Secarik kertas berbicara,lalu
menganggap Ia bernyawa,
dan menjelantrahkan kemenangan
Luka
Rinai
Senja
Siri!
Ia sucikan sendiri bekas jejaknya
engan perahan air ---
dari puting-puting ciptaannya,
melampaui tungkai-tungkai keperawanannya.
Gelimang serapah terpasang,
membirahi di biru tengkuk lidah.
Begitu ingin Ia mentas dari alas-alas terkubur,
menjuntai,merongrong,mengoyak,
menggagahi dirinya ---
Sampai luas alas tubuhnya terkuak,dan
angkuhnya mengosongi lantai
dengan seret-seret gaunnya.
Menggejala di pelupuk-pelupuk liar
lelaki yang melahirkannya.
Lenyap.
Surabaya, Juli 2001


MENDUNG AERIS


Pada sebuah nama
Yang akan menjadi
sosok lady
Pada wajah-wajah pudar, temaram di buritan puri-puri mati
Kau bangun oda untuk awan-awan yang bernyanyi di
istal-istal jerami usang, dan
mendung mengguratkan sejarah di atap-atap kelu para penghisap
pipa-pipa mati.
Sejarah sakramen lilin-lilin tua, bersenandung dalam mata
peruntungan cenayang,
memberkahi alur perputaran bola riwayatmu
Kau puja rerumputan yang berlari
untuk menggenapkan peta-peta badai
pada pedang-pedang yang terlukisi di dinding warna-warni
legenda bisu.
Di tengah kabut yang mengambang,
menggubahi silsilah lonceng-lonceng permulaan ¾
epik persembahan serdadu-serdadu tanpa ruh, dan
bangunan koor biara menyayat di sentakan kaki-kakimu,
kau kenali matahari palsu,
keringatmu yang demam dan air matamu yang meleleh ¾
mengasingkan gurauan tubuhmu pada bejana
liat terbakar
Dan liur sungai memakan ufuk-ufuk bingakai matamu
yang kau iris ¾
Das Schlosz Licht Tal Ende
Lantai padang-padang liar masih tetap menawarkan
gairah terkutuk di ayunan elegi lugu
juga relung-relung tungakaimu yang mengajal di sumpah
sumpah darahmu,
tak kan berhenti lari seperti nyawamu yang dihitung mulai
Derak-derak mesin pencetak tua
Namun tetaplah sihir peminum malam
terkantuk di rintihan tembok-tembok relikui sulang anggurmu, beserta
beratus-ratus mantra penggembala yang terkubur
meringkuk di pendiangan kitab-kitab malaikat yang
mengajarimu memandikan porselin-porselin berkarat.
Bersama peri-peri yang menangkarkan keajaiban
benteng-benteng Elbe; meledakkannya sekaligus
di sisi kremasi rambutmu ¾
yang harus kau kunci
di dalam peti-peti mendung yang meleleh.
Blitar, Februari 2002


BIODATA PENULIS :

Puput Amiranti N. lahir di Jember, 24 April 1982. Menjadi anggota Teater Gapus Surabaya. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa D-3 Bahasa Inggris Unair. Aktif dalam Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Terlibat dalam beberapa pementasan Teater (sebagai Tim Musik); Kabut, Hipotermia Alur Mitos, Kerontjong Tjinta, Mututurak (Neraka Hijau), Sembuh.
Alamat: Jl. Dieng 14 Blitar, Jatim, 66133.
Email:poet_own@naver.co.id

Home | Vol 15 Table of Contents | Previous Issues