Home | Vol 15 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Sajak Mashuri

IQRA

Laut dengan debur asinnya, dan garam
bukan tempat logam untuk berbekam
seribu pemusnahan akan pecah
seperti kulit dikoyak tombak
lalu luka memeta, memerihkan sengketa
dalam diri, seperti nuh tentang anaknya
lalu perahu berlabuh
dengan rasa sesal

tapi aku berpegang pada kepastian
seperti kematian yang mengutukku
untuk selalu menanti
dan penyesalan, hanya bayang-bayang
layar, dengan warna kusam
sebab nubuat telah kubaca dari gurat
telapak tangan, pasir hitam
dan temali di pantai

dan laut dengan wajah pendulumnya
akan terus berombak
mengaji takdir, dari rangakaian buih
ronce-ronce kengangaan
dan jarak
untuk saling menepi

lalu kusundalkan kehendakku
menyebut nama-nama
seperti seorang lelaki di sebuah gua
memasang jaring laba-laba
sebagai amsal
bahwa dalam kosong, dan tampak kosong
masih juga berjiwa

mungkin logam, harus memilih
sebuah ritus yang tahu diri,
apakah hanya loyang, besi atau emas
lalu melebur dalam ketaksaan;
ketaksadaran
yang dihamparkan lazuardi

dan nuh, juga diriku
tidak pernah menyesalkan sebuah nujum
sebab segalanya telah terjadi
dan kelak yang abadi

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Simponi Pastoral

--Gus Yus

di bawah pinus, musim dingin telah merekahkan luka
lalu kita menuangkan anggur
dari pundi-pundi, yang pernah kita simpan
di bawah altar
dengan tikar, sajadah dan lantai marmar

kemudian kebisuan itu pun membuncah
suara-suara nyanyian, paduan suara
memaku tembok-tembok tua
berdentang di antara genta
dan jubah-jubah bergesek dengan paku
mencipta musik
dan karpet pun terkapar dan boyak

mungkin di atas kubah, ketika kita sudah menenggak
ratusan cawan
kita melihat kepala melayang
laksana partitur yang beterbangan
mengeja sajak, nada-nada langit
dan irama-irama udara yang bertebaran di angkasa

seorang sufi, dengan tongkat bambu
dan terompah terumbu mengibarkan bendera putih
ia tidak menyerah, tapi mengisyaratkan perlambang, bahwa dunia
dunia yang tercipta dari nyanyian, suara-suara alam
dari jiwa berjiwa
adalah baka

lalu kita menuntunnya ke ladang
mempertemukan dengan sebuah nasib
ketika sebuah tubuh terpaku, kuyu
dan sajak bermatram muram
dan berdarah dan luka

tapi anggur yang mulai menggerogoti kerongkongan kita
mencipta lorong yang lain
semacam labirin, dengan sekerat daging, hawa panas
dan gemerenggeng unggas
siapa yang harus kita pastikan sebagai pusat
dalam pusaran sekeras ini
sebab ombak-ombak nada demikian mengguncang
dan sampan, dari batang gelugu
terpaku dan tenggelam

bilakah musim berganti, mengekalkan perubahan
di rambut
dan memuja maut
sebagai puncak pelayaran

kita hanya melihat sayap-sayap burung
seperti kosong
kosong

Surabaya, 2002
Sajak Mashuri


Laila

Malam telah menitipkan gelapnya padaku
bintang, rembulan dan kunang
hanya bayang-bayang
ia mengendap, kemudian berangkat

kudendangkan gita, seperti seorang perindu
kekasih yang jauh melambai
dengan pinggul penuh, sorot mata lapar
dan dahaga memuncak
seutas birahi telah menulis diri
tuk membuat perhitungan
menuntaskan gelisah

dan malam telah kembali malam
dengan mata penyamun dan diam
seperti seorang perempuan
yang dibelenggu kesetiaan
dan angin merontokan daun, bunga-bunga
dan sebuah angan-angan
tentang sacra

“Laila, kaukah itu yang mengetuk pintu”

Sajak Mashuri


Raga Raib

Ketika ragaku raib, dan anggur tinggal cawannya
mimpi pun tidak akan berakhir mimpi
dan debur ombak yang mengombak di keningku
kusebut tuhan juadahku
seribu lolong bergema, meneriakan kesakitan
kesakitan indera
tak bisa mencecap darah

mungkin awan, dengan lam diamnya
dan seonggok nista bagi kesucian
akan menamparku, tapi setiap tamparan kumaknai sebagai sebuah sapuan untuk mengerti
berpaling dan mengerling
pada ranah terumbu
sebuah keterasingan yang menyergapku di puncak bukit

namun masihkah harus kuingkari
gurat dedaun, menuju ngungun
dan gaib
ataukah harus kulanggengkan kemabukan
kemabukan
mabuk dengan kata-kata, tuak
dan sekendi udara
lalu menjemput mimpi
dalam keterasinganku

tapi kesakitanku akan menjelma mata malaikat
lalu mengembalikan ombak dan ombak
dan seribu impian akan melukis diri
di cakrawala, di atas cawan dan nampanku

dan ragaku kembali
seperti seorang ibu membopong anaknya
dan membaringkannya di atas bongkah-bongkah es,
dengan nyala lilin
dan bunga-bunga ditabur di dadaku

Surabaya, 2002
Sajak Mashuri


Dancuk

supatamu terlalu menyakitkan, sophie
seperti gerhana, seperti halilintar
seperti anak-anak angin yang membelit
dan melemparkan
mungkin rerambut akan rontok ke peraduan
dan menuliskan sebuah isyarat
tentang cinta
cinta yang jauh
dan raib

lalu kulayari tubuh bugilmu
seperti kulayari selat
yang memisahkan antara aku dan ibu
sebuah jarak yang nisbi
dan kengangaan dengan jurang tak berhingga
dalamnya
ataukah dalam jarak itu,
kita saling merengkuh
lalu menghitung angka-angka, ke belakang
ke depan
dan tak menemukan
apa-apa
selain rasa sakit, dan perih

tapi bukankah kita terlahir sebagai pelisan, sophie
dan dongeng-dongeng yang melulur cemara
seperti selalu berbicara
pada kita
jika kelak sebuah puting beliung tengkurap
dan mengirimkan amuknya
kita bisa menulis di nisan
bahwa setiap yang bernafas, berumah
dan bercermin kolam
akan padam
lalu jarak menjadi demikian nyata
dan awal dan akhir menemukan bentuknya

mungkin supatamu yang bagai petir itu
telah mengirimkan bebunga karang ke jantungku
lalu kabut mencipta diri
seperti muasal
kelahiran
garba robek
mencipta darah dan darah menuliskan amanatnya
di secarik kertas, seperti kartu pos
lalu kukirimkan kembali
kepadamu

Tapi benarkah kauinginkan aku remuk
sehingga kau kutuk aku
sedahsyat prahara

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Anal Waqt

ketika kepalaku terpenggal, lalu langit menulis
kematian,
adakah kematian lain, selain waktu
lalu lumut-lumut mengering, sisik-sisik ikan
laksana baju musim dingin
dan sungai dengan alir darah, terpejam

siapa yang terajam
dalam malam sepekat ini, wahai sang kala

tak ada jawab
kecuali bunga-bunga tumbuh dari urat
yang terpotong
dari nyanyian-nyanyian maut
dalam mata fana, seperti kerelaan untuk meninggalkan
dan berlayar dalam gugus segala gugus
menziarahi jazirah dengan sayap-sayap perak

mungkin riwayat mencipta merihnya
seperti garam memaram luka
dan senja hilang khianat
pada malam
sebab mega, segala yang bernama mega
adalah merah dan abadi

dan pejalan larut, seperti jiwaku
dengan amuk ruh, kalajengking di kelingking
dan selaksa sihir di bibir
menujum bahwa sebuah tanda
dari kematian yang telah melepas anak-anaknya
hanya kematian
tak ada isyarat untuk bertaruh
pada terminal-terminal waktu
selain sebuah perjalanan
dalam bayang-bayang
dan mengendap dalam angan-angan
dan lenyap

ketika kepalaku menggelinding
sejumput rumput, pasir hitam dan debu
menjelma permadani
dan sebuah putaran, laksana roda pedati
telah mengirim sebuah pembunuhan
pada hakiki
tentang jiwa yang berjiwa
dan atman berdiwana di antara seribu gugus nusa
menembus ruang waktu
menyerpih bulan, dengan segala tarian
dan menusuk matahari dengan tonggak pelanangan
dan merebut kehendak dari jaman
: aku sang pejantan

tapi burung-burung tak beri harap, atau jawab
tentang kelamin
hanya ratap, nyanyian, doa-doa
lalu sekuntum bunga memberi kepastian
seperti nasib
dan gerbang garba terbuka, untuk sebuah pembaptisan
: kau kekasihku!

Surabaya, 2002 Sajak Mashuri


Teror Ruh

setiap ayat yang kubaca
seperti selaksa sajak
selalu menyisakan kematian
lalu seribu kepala terpenggal
dan menulis darah, tentang arah
tak berjangka, sebuah nyanyian
tanpa notasi
dan sebuah lingkar tanpa putaran

lalu jiwaku yang gigil
laksana pualam putih dan pucat
akan beterbangan di reranting
cahya
dan ara yang tercipta dari amarah
siap memberkati sebuah nista
seperti ruh yang meninggalkan raga
dan hinggap di dahan-dahan nirwana

tapi benarkah bidadari dengan selendang biru
akan bertemu
di sebuah altar
dengan sebuah janji, tentang persetubuhan
dan liar

mungkin pelor yang tersisa di ingatan
bisa mengembalikan
lupa
pada sebuah lukisan
tentang beranda, keranda, ruang tunggu
dengan taman-taman bersungai susu
dan ibu dengan jarit pisaunya
membelah bumi
menitipkan rahimnya
di antara rerumput dan duri
lalu berlari di sepanjang suara-suara

memang sebuah kematian memaksa
subuh terus berdengung
dan malam mengundang gelap
tapi ajal yang tersaji
di meja perjamuan
tak lagi kudus
sebab ajal lain, dengan ruh blingsatan
dan lanskap kemurtadan telah menawarkan
siksa yang lain, siksa yang perih
karena ditinggalkan
dan cinta yang gagal

dan ayat-ayat itu, telah meledakkan ruh
pada hampa
pada sebuah ruang, oase yang kerontang
dan pembunuhan pada yang baka

mungkin dengan tangga-tangga, seperti kata-kata
yang berpinak
dalam sajak
di luar rasa maut
di sisi haribaan kegelapan
sebuah ruh teraih
dari suci
sebuah cawan yang kehilangan hitamnya
dan arak menciptakan mabuk yang lain

dan mayat akan melebur
dalam seribu ayat
ketika burung-burung terbang
di gigir laut
mengenal buih dari janji
dan seribu kepala tersaji
dengan bola mata abadi
: sebuah kesaksian pada misteri kuntum-kuntum rahsia
dan ibu turun ke peraduan
dengan cermin di tangan
dan debu di buaian

dan segala yang fana, seperti jemariku
akan tandas
dan wahyu telah menuntunku
pada komplotan-komplotan liar
dan melenyapkan riuh jiwa
pada terumbu
dengan seribu lubang, dan nganga

lalu dengan tanpa telinga
kudengarkan suara-suara, luka ayat-ayat
dan sebuah surat terpenggal buat perempuan, Aida dan tanah kelahiran
yang berduka
Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Tajaliyah ruh

sebuah sungai, dengan anak-anaknya, telah mengirimkan riak
ke tubuhku
lalu bulatan-bulatan yang memusat di pusar, serupa bola mata ikan,
sisik-sisik, dan gambar-gambar permukaan
yang ditimpa batu, satu, satu
bak rintik hujan di kolam
hadir di keningku

mungkin langit, dengan kabut, dan rahim hujannya
telah mengirimkan matahari
seperti isyarat, seperti laknat, atau sebuah kepastian
untuk memilih
bahwa segala yang berjiwa, seperti tubuhku
akan tengkurap
mendaftar seribu lumut, di tepian, lalu menguarkan alir
dari hijau yang keramat, dalam buaian sang kala

seperti musim gugur, daun-daun berbantun
dalam kerontang, dan sebuah cuaca mengirimkan kutuknya
dengan rasa angkuh
lalu kuda-kuda dengan temali, cambuk dan kereta
berkendara di kaki bukit
dengan roda-roda
dengan perputaran dari satu titik ke titik

tapi sungai tetap menjadi sungai
meski dalam dingin yang gigil dan beku
meski dalam kering dan layu
sebab mata air
dengan linang ruh, yang tertahan di puncak-puncak tuak
dengan selaksa cahya
akan abadi
menjadi gemintang dan abadi
dalam ingatan, lalu

ketika rumpun-rumpun bambu tumbuh di keningku
dan dahan-dahannya merimbun
mungkin sebuah jembatan tiada lagi khayalan
dan tangga yang tersaji, dari benih, semacam angan
dan tunas
akan lunas dalam segala iklim

segalanya menjadi sungai, dengan kilau cahaya
dan menerangi jiwa
dan ruhku berkendara dengan kuda putih
yang tercipta dari pemberkatan dan pemberkatan
dari tarian dan tarian
dan nyanyianku adalah nyanyian bumi
dengan seribu doa
dan mengoyak langit

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Malam

Cintaku pada malam, seperti cintaku
Pada gemintang, tuak dan tubuhmu
Mungkin dalam gelap yang mengusung
Kelindanku
Dengan urat yang mengeras dan gaib
Aku bisa membaca gurat langit,
Seperti lahat dengan belatung-belatung
Yang mengurung jasad

Dan jasadku, dan jasadmu yang terbaring
Di antara dua gugus ufuk yang terpuruk
Mencipta luka dari darah
Air mata
Dan memperkosa takdir
Di atas papirus kelam; amsal silam
Dan meretaskan batas
Dalam wujud tak tunggal
Bahwa dalam binneka, dalam ragam
Sebuah kendali menjadi nisbi
Lalu burung-burung
Mengirim
Sayapnya
Untuk sembahyang, dan menyembah
Kelamin

Lalu rusukku yang telah mengirimkan kutuknya
Menjelma sebuah lagu
Lagu-lagu ruh
Yang menggiring ingatanku pada pencerahan,
Tentang senggama
Pohon-pohon purba
Dan asal penciptaan

“Siapakah malam, yang telah memberiku nama”

Dalam gelap, kuendus tubuhmu
Lalu aku mabuk
Mengerling pada secawan lekuk berjiwa
Seperti anggur
Lalu menuliskan kabar kematian
Dalam diri
Membongkar batas yang terimaji
Dan membimbing khayalan
Seperti seekor gembala yang menggiring ternaknya
Ke kandang, ke rumah-rumah tua
Dan sebuah terminal yang tak pernah berakhir

Cintaku pada malam, seperti cintaku
Pada gerai rambutmu
Serupa mayang
Mekar
Dan Hitam
Dan turun ke dadaku seperti sebuah tirai
Seperti mimpi-mimpi
Dan mengirimkan surat
Utuh, kedalam belukar, sebuah ruang
Lalu kubaca seperti seorang kelaparan

Dan lenguh, hasrat membunuh
Tak bisa sampai
Dalam hitungan kesekian
Kecuali mimpi birahi
Birahi hakiki
Untuk melengkapi
Dan memutar kendali
Pada pemurnian
Pemujaan tanpa keinginan
Sebuah lenguh yang nestapa
Tanpa bisa menghunjamkan tombak
Ke garba

Sebuah bentuk yang ambruk
Sebuah wujud yang gaib
Dan di antara peta-peta, tubuhmu
Dan tubuhku
Terserpih
Laksana tali-tali magma
Yang mengeras
Membentuk lingkaran
Memutar
Memusar
Menuju langit

Lihatlah, cakrawala telah berpijar
Dan matamu, mataku menatap dari sebuah tubuh Sekarat dan mati
Seperti orgasme yang tak pernah sampai

Dan cintaku pada malam, seperti cintaku pada pantatmu
Yang berombak, sintal
Dan najis!

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Mayat yang Terkepung Ombak

di pinggir pantai,
mungkin
kita hanya sebatang anak panah
kelak, ketika kita membentur gigir cadas
kita bisa patah, atau mata kita berlompatan
dalam ombak
dan melihat cahaya, dalam pintalan-pintalan gelap
entah dalam hitam atau putih

seperti lanskap malam,
kita hanya bisa berpangkal pada ingatan tapi segala ingatan kita hanya siluete dan bayang-bayang
kita seperti hantu yang agung
yang disemaikan waktu, lalu menenunnya
dalam kehampaan
sebab yang bernama jiwa hanya udara
dan kosong
dan hanya layar-layar di perahu, yang bisa membaca
keberadaan dan lengan yang patah

tapi setiap anak panah yang meluncur
dari busurnya
adalah kengangaan
sebuah jarak yang terilhami antara mati
dan bunuh diri
lalu laut, ruang udara, sebuah kamar
menjadi antara
antara pandang yang memekat, burung camar
dan gelombang-gelombang pasang
yang datang

dan tubuh kita, hanya mayat yang dikepung ombak
kelak retak dan raib!

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Pohon Doa

di musim semi
pepohon sakura mengirimkan bidadari
tarian-tariannya bergerai bersama bunga, bersama mentari yang sepi
tapi masih juga terasa dingin, ketika seorang perawan
memungutnya, dan menyelipkannya
di antara untaian jemari
di antara rambut-rambutnya

tapi segalanya seperti tak bernama
ketika uap kematian menjadi bermahkota
dan mengundang dencing pedang
untuk bersekutu dengan leher-leher peziarah
di kuil-kuil tua, semacam ingatan
menyemai restorasi
lalu pohon-pohon seperti sajak singkat: doa
seperti haiku
di bawah matahari yang terbit dini
dan lanskap semi, hanya lukisan tentang peniadaan diri

dan setiap reranting
bertuliskan rajah-rajah pemberkatan
bahwa kematian atas nama sang surya
adalah nirvana
sebuah sintal untuk mengantarkan nampan
penuh bunga
di gigir laut
dengan ombak-ombak, lenguh maut
dan keniscayaan pada sebuah cahaya: pembaharuan

lalu para perawan menyerahkan kesuciannya
sebagai tumbal
bebunga terbiar menggenangi kolam
hingga ia menjadi amis, dengan darah, dengan tangis
dan dinding-dinding mengelupas
seperti sebuah isyarat kenangan
yang harus ditumpas
dan mengurung kerinduan pada muasal
perang dengan sapu tangan dan kuas.

alam seperti memberikan satu jawaban
tentang arti pengorbanan
dan pohon-pohon akan terus tumbuh
dengan tunas-tunas baru
sebuah kelahiran kembali
reinkarnasi
dan merubah arah angin
merubah dingin, kebekuan
dan menciptakan lazuardi
dari birahi
membiarkan teratai
mengusung dzakar dan farji
dalam perjamuan kudus dan diberkati

lalu pohon-pohon doa akan tumbuh
seperti puisi
Surabaya, 2002 Sajak Mashuri


Anjing Gembala
F Aziz Manna

aku ingin bercerita padamu tentang mataku
agar kau tahu, bahwa kesaksianku adalah belenggu
lalu kita bisa saling bercakap
di bawah kubah tanah liat, dengan warna merah
membebaskan kerinduan dengan penciptaan dan penciptaan
dan merumuskan angka-angka baru

mungkin tak ada burdah di sini
dan kita tak bisa berharap kerinduan itu
demikian membutakan
kita hanya anak-anak angsa dengan bulu kumal
dan menginginkan rembulan
lalu bernyanyi sepanjang malam dan mabuk

tapi tahukah kau, korneaku di lingkar mataku
bukan korneamu kita masing-masing terdesak di sudut
dan menyisakan sebuah pandang yang lain
pada warna laut
hanya cakrawala yang mempertemukan
seperti langit dengan rumput
dan kita bersampan di padang ilalang
dengan kesakitan yang entah kapan hilang
tapi kita masing-masing punya harga
sebab kita adalah anjing
gembala

sebagai perindu, aku ingin membuat perhitungan
di menara
membongkar sunyi
lalu kita sama-sama bisa saling bertanya:
apakah jalan kita sudah sesuai peta,
atau kita memang sengaja mengaburkannya?

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Tohpati

Warna laut tak pernah memudarkan camar
tak seperti tubuhmu pada tubuhku
hanya maut yang mengerling rusuk
lalu bertanya, dari mana muasal penciptaan
dan susu berbongkah, vagina merekah
dan sosok-sosok tercipta dengan gairah

mungkin kidung agung yang pernah kudendangkan
di sebuah pagi
dengan sepiring roti, anggur hitam dan pengkhianatan
membuka mata
lalu seribu pembunuhan dimulai
aku menyebutnya birahi
lalu tubuh-tubuh berjajar di sepanjang pantai
dengan kulit telanjang
dengan cawat yang tak pernah melekat
dan berkibar panjang

dan dunia tercipta dari lenguh dan kesakitan

tubuhmu yang dirajam
seperti memberkati
bahwa dewa-dewa, entah kapan berasal
selalu menjadikan ritual menuju kehampaan dan raib
lalu kesucian seperti reranting kering
yang akan beterbangan di sepanjang jazirah
ketika angin menciptakan nujumnya

dan segala yang bernama maut, seperti waktu
akan mengerti
kapan ia turun ke peraduan
menjemput sprei, sebuah kegagalan memiliki
dan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sampai
lalu melepaskan usapan pada patung pasir
dan meniadakan diri dalam orgasme
jerit tak berjiwa dan rayuan untuk membebaskan
buih, dalam palung-palung gelap

cres!

sanggurdi telah menancap di uluhati
biarkan aku pergi
seperti hujan yang larut ke laut, ke tubuhmu
dan maut

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Menulis Surat di Udara

lonceng-lonceng katedral, sesenja ini
masih juga berbunyi
seperti kematian yang diulang-ulang
dan datang
lalu membopong kesunyian di perigi
: tempat kita bertanak angka-angka, mencipta
dunia dari air, dan mengecup bibir
tanpa keinginan

lalu para paderi membeber peta
seperti kitab, seperti nujum, seperti sabda yang telah tertulis
lalu kita menyalinnya dalam lembar-lembar kehampaan
sebab kita tahu, sesuatu yang kekal
tidak akan mengekal di udara
dan bahasa menyulap diri
menjadi malaikat, seperti kuda-kuda
yang menyeret pedati, makna, pesan dan segala yang bernama
ke bukit-bukit
dan lembah tercipta dari sisa-sisa
dari ingatan yang patah
dan kenangan yang tercabik anusnya

kita telah menulis surat di udara
dan anak cucu hanya mengenalnya dari seutas bau
yang menguar di ujung pena
serupa pedang dan darah
songgok ingatan menjadi raja, untuk mengembalikan
aksara-aksara yang memuai dan lebur
yang menyusut dan gigil
tapi kita seperti nahkoda, tak bisa memastikan
arah perahu, ombak dan angin yang terus memusing
laksana gasing: mencipta badai di lengan-lengannya
kita seperti sang fana, yang
telah bertaruh dengan kesementaraan
dan memendam gejolak untuk mengingat dan melupakan
sebagai kekekalan

di altar marmar, tempat seorang perawan pernah
disembelih sebuah himne menciptakan keangkuhan
tapi lonceng katedral, salib yang terpajang
dan sang alif di ambang senja
seperti terus berkejaran, berdentang
seperti sebuah panggilan berulang-ulang

mungkin dengan mengecup bibir pintu
kita bisa memastikan
ingatan kita, kekasih kita, yang membimbing jiwa
mengenali keinginan
tapi kita sudah lupa makna hasrat
seperti tubuh kuyu yang terpaku
dan kematian: hanya terminal yang dipenuhi
dengan jejak-jejak yang tak dikenal dan asing

biarlah kita menjadi saksi terakhir
menjadi perantara dari sabda
menjadi telinga-telinga yang setia pada suara-suara

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Jamal

kata orang, jubahmu tak berlengan
dan kau kumandangkan sajak bak ombak
lalu kapal-kapal datang dan pergi
tapi di sini,
aku hanya menemukan seserpih tulang

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri

Gun

ketika peluru ditembakkan siang
dan malam
seribu arwah akan berkumandang
tentang jarak, kekosongan, dan pelatuk penghabisan
lalu nyanyian akan membentur sepi sepi yang raib dan menyakitkan

lalu usia tanggal seperti popok bayi
yang terlempar dari jemuran
sajak-sajak hanya artefak kanak-kanak
untuk menebus dosa
mengulang masa-masa, ketika otak masih berlumuran tinta, darah
dan sperma

di akhir kata, sebuah ledakan memekak
dan kisah-kisah, dongeng, seutas rahasia
menjelma ingatan
dan bayang-bayang yang semakin kabur
mengubur segala menara
sebab ombak dan gelombang pasang
tak pernah berdalih untuk berhenti
menguji pantai

lalu sang penyair berdiam di lahat
dengan jantung berbilur biru dan luka
matahari abadi, cambuk api
melecut angkasa
dengan pelir yang mendongak dan congkak

sebuah ledakan akan mengubur segalanya
seperti kematian!

Surabaya, 2002
Sajak Mashuri


Sorga

--karena kau kafir, perempuanku
darah haidmu: abu-abu

karena kau kafir, perempuanku
maka darahmu, alis matamu, dan urat
yang melekat di jantungmu
adalah segumpal riwayat, dengan pohon-pohon
silsilah dan reranting
yang mengubur kerinduan untuk berpaling

sebab sorga, dengan mata mirahnya adalah kerinduan
untuk saling sapa
merajut persetubuhan dalam iklim
tanpa rasa menista, berjusta
dan menumbuhkan rasa, untuk tidak memiliki
lalu sahwat bernyanyi dalam diam
dan menari dalam diam
dengan gerak-gerak kematian yang menyucikan

mungkin pengkhianatanku pada sorot matamu
adalah keniscayaan
kerna ludah yang berada di lidahku
terlalu miskin. Aku juga kafir sepertimu
hingga rambutku
tak lagi percaya, bahwa kebenaran itu benar ada-ada

mungkin di akhir tahun, ketika ain sudah berbalik
dan angin menjadi tumpuan segala pelayaran
kuurapi tubuh hitammu dengan tubuhku
sebab pengingkaran yang kita buat
di awal, dengan rapal-rapal pualam
adalah wilayah merdeka
seperti jazirah yang tak mengenal kembali
dosa asal
seperti mimpi yang tak pernah terkubur
dalam jiwa

lalu sampan dengan pendulumnya akan mengerti
bahwa pusaran akan tetap pusaran
jika mata menatap dari pantai
dan kita telah masuk dalam lingkar lazuardi
bermain dadu, telanjang dan menenggak kepongahan
sebagai imaji-imaji, langit dan warna hujan yang datang
untuk kesekian kali

dan surga yang tercipta
dari peluh kita
akan bermata zamrud, lalu kita bisa berenang
dalam gelas-gelasnya
seperti petani yang menanam benih
lalu pulang
tanpa ingin menengok kembali
leladang dan muasal padang

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Palus

Kerna yang ada di hatiku adalah pisau
maka lorong gelap mata, alis
dan segumpal daging
akan aku sayat, hingga peta-peta lungkrah
lalu kepada dewata
yang sedang bercengkrama, kukirimkan
belulang, tengkorak
dan usus terburai
Dan siapapun, siapapun yang ada
seperti juga dunia
kubiarkan menangis

Lihatlah aku dunia, aku yang tersaji
dengan nampan tanpa bunga
Lihatlah ragaku, dengan tubuh yang melingkar
dengan segerombolan akar dan banal
siap membongkar jubah terkutuk
dan membakarnya
di altar berumput

Tak ada waktu
hanya wiski tua, darah dan tinta merah
lalu anak-anak matahari merayapi
pinggul bukit
menggelung laknat, menasbihkan khianat

mungkin di pendapa, seperti dadaku
bulu-bulu tumbuh
meriap dan melanggengkan kejantanan
setiap malam, anjing kuperkosa
dan kutiriskan janin-janin
yang terlahir dari sisik-sisik rembulan
dan lolongan-lolongan yang memekak
di semak, di lantai, di farji
serupa terakota dengan perempuan berkebaya
menjelma panggilan-panggilan
panggilan untuk menumbuk kembali
rerempah
mengirimkannya pada sang garba
agar segala yang tumbuh dari garba
adalah bulu

aku telah memulai pembunuhan
dan yang kubunuh adalah
segala keinginan untuk bertukar tangkap
aku hanya ingin diriku
yang berkuasa
melumat daging dengan taring
lalu menyajikannya dalam potongan-potongan
tak teratur, sengkarut
dan berlendir

Sungguh, kenapa aku menjadi demikian
perkasa
adakah waktu lain yang mampu menamparku
sehingga aku bisa membaca darah kembali
dengan rasa tangis
tapi tak
aku masih juga bermain
dengan jantung, menghentikan alirnya
dan menghisap segala yang tersaji dari aorta
nifas, dan haid, dan luka dengan nanah
tumpas
di bibirku

lalu kusebut diriku pemerkosa
tidak hanya malam, yang telah terkoyak
pelananganku
beribu janji hanyut
dan tembus
dinding-dinding jebol
kemudian kubaptis diriku sebagai lingga
sebuah kekeramatan yang telah teruji
menjemput langit tanpa janji
dan menyulap sebuah ritual pembunuhan
dengan suci

o sang penguasa tubuh
beri aku seribu orgasme
agar burung-burung dengan paruh yang lapar
mengerjap
di cakrawala
merobek mihrab dengan tangan-tangan gaibnya
lalu melarungkannya
di bumi bergetih
o sang kala
telah kuhikmati segala kepongahan
jangan biarkan diriku ambruk
sebab segala yang pernah kudera
tak mungkin menghindar dari turuk
sebab jasad manusiaku
hanya mimpi dari keterasingan
aku ingin melemparkannya ke neraka
seperti moyang yang dengan amarah
mengutuknya
lalu bara, besi membara
kumakan seperti korma
sebab keabadian
apapun yang bernama keabadian
hanya ritual penyangsian dan luka

mungkin hanya setubuh
dengan melanggengkan pemujaan
pada tubuh
dewa-dewa, dengan segala kacamatnya
akan tanggal
lalu bumi, bumi dengan airmatanya
akan mengering
dan
palus, kusebut diriku palus
seribu tonggak mata air
tuk tentramkan beribu goa
tuk bebalkan beribu labirin keterasingan
dan melanggengkan senggama
dengan irama-irama
yang mampu mengusir segala lupa
mengembalikan ingatan
sekaligus membunuhnya

dan
siapapun yang ingin pulang
dengan tangan terkulai dan hampa
kubabat dengan lidahku
kuremas dengan telapakku
sebab segala yang ada di jasadku
adalah maksiat
dan kupahami kemaksiatanku
dengan sebuah pemberontakan
untuk mengenal awal
menggiring takdir di pinggir-pinggir
pelir

dan sang palus jiwaku
seperti penguasa, dengan pilar legam
dan tiran dengan tirai hitam
yang melumat segala yang berlubang
menghentak anal, telinga
dan surga vagina
hingga berdarah-darah

akulah pemerkosa
dewa!

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Sri

Andai aku mati, sri
kuingin kau selalu memainkan gambang
agar ruhku mengambang, dan menjemput kengangaan
dengan berkas yang tak membekas
tapi jika kau lalu melacur, dan menjelma
patung-patung
dengan tubuh telanjang
mungkin kesaksianku pada ranah mimpimu
hanya sebuah kekosongan
kosong yang tak menyisakan apa-apa

tapi apalah artinya kesaksianku
sebab segala yang ada di mayatku hanya
ingatan
ingatan yang harus dikubur dan dalam
hanya kasih kita, sri
yang tetap memberi peluang
untuk berjumpa
di bulan asura
ketika tarian-tarian itu mengekal
di bawah bayang malam
dan menuntunku pulang
untuk mengintipmu

dan kelak
bayang-bayang tubuhku, dengan srimpi perak
akan sampai di haribaanku
menenun kerinduan
seperti sepasang prenjak
lalu melangkah di antara reranting
dengan senyum yang demikian getir

mungkin dalam perbedaan ini
kita bisa saling berbagi
seperti jarak yang jauh
dan gelombang-gelombang suara yang mengental di udara
tapi keyakinan itu, upacara itu
selalu membangkitkan ruhku
untuk mencecapmu
dan mengingatmu
dengan sisa-sisa ingatanku

sri, bilakah kau akan mati di tubuhku Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Bawuk

jika kau menjelma perahu
dan rambutmu dengan ronce melati adalah buih
bahasa apa yang harus kulisankan
dengan lidah pejantanku

hanya tulisan di batu
serupa tugu, dengan segala kenangan, ingatan
dan rahsia mengekal
memberiku pilihan lalu ombak-ombak itu, dengan gelombang pasang
laksana sejuta serdadu
menghambur kaki langit
dan sebuah senja memesan kopi pahitnya
hingga malam merengkuhnya di pembaringan
dengan rasa sakit

cahya
hanya cahya yang berkilat dari pundakmu
yang menuntunku
pada tiga tiang layar
dan kemudi di buritan
mungkin waktu dengan mata pedangnya
juga harus undur
mempersilahkan kengangaan lewat
lalu lumpur-lumpur, dengan pasir beracunnya
memberi kutukan
seperti kutuk pada kebebasan
amsal pengkhianatan tapi benarkah kuingin terpatri
di bibir bawahmu, di antara belukar
dan rimba
dengan kijang-kijang liar dan trengginas
atau hanya kesepian
yang melecutmu tuk menarikku pada permainan
tapi gemas pinggulmu telah berkirim khabar padaku
bahwa segala yang bulat
tiada lain adalah tuhan, mawar dan remah roti di musim
paceklik
lalu aku berkendara angin
menyambarmu
dan melumatmu
dalam wujud tak berwujud
dalam muksa tak muksa
dan segala indera
hanya berbagi dengan rintih, nyeri
kengerian, selalu memanggil datang
untuk mengulang
dan mengulang
ritual, upacara
atau metamorfose kupu-kupu

mungkin di atas ngilu itu, dewa-dewa
menitiskan gamisnya
lalu tubuhmu yang polos
mulai berpakaian
mengenakan sarung tangan
dan bibirmu
dan anusmu
dan segala lubang yang menganga
di tubuhmu
mencipta pagar
agar segala rahsia, tetap mekar
dan tumbuh menjelma ular

sungguh aku hanya mengintipnya dari renggang jemariku
tapi nafasmu dengan ruap embun
laksana pantun
sebuah derap yang dapat diraba
tapi setelah jejak-jejak itu kabur
kau adalah lesit
yang menghisap darah
untuk darah
lintah dengan mulut-mulut api
yang membikin bara dengan jerami, rerumput
hitam, semacam sahwat
dan mengundang burung-burung
untuk hinggap dan mematuknya dengan lahap,
liar dan mencengkeram

sayang yang kuingat dari dirimu
hanya sebongkah kata
sebaris ucap, seperti sapa
dan layar yang tergerai di pahamu
mulai menyingkap
lalu perahu itu melaju
dengan haluan berbuih-buih
dan suar pun memejamkan mata
untuk menyaksikan adegan-adegan kejam
pentas yang tak pernah tuntas
untuk selalu mencipta merih
merih tak terandai
berkejaran di lorong malam

hingga sungai dengan ikan-ikannya
menyesak pantai
hingga jeram dengan arus tajamnya
menjelma landai

dan siapapun adam yang bermain sampan
akan terkutuk sebagai pengkhianat
lalu mengubah arah jarum jam
membelah kepala, mengunyah jantung
dan melarikan segala yang bernama
pada sang tiada

hanya maut
maut yang berpagut dengan gelinjang
dalam tarian
ketika sahwat menjelma khalwat
dan bibir mendengus: baiat! baiat!
maka tubuh hitam akan semakin hitam
membaca ketaksadaran dengan luka
luka tubuh
yang dirajam batu
dan seribu duri tumbuh dari tubuh
selama berwindu-windu

mungkin hanya di pantaimu
aku melihat waktu merintih
mati
dan kebebasan itu telah mengutukku
untuk menyemaikan lisong
ke mulutmu
dengan asap yang membubung
lenyap

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Di Bibirmu Kulihat Anal

malam telah menggiringku pada kesaksian
bahwa ibu telah pergi, tubuhnya diserpih waktu, di sebuah sudut jazirah
lalu peta-peta jatuh di tangan pemburu
dan lusuh

tapi setiap wirid yang kulafalkan
untuk memanggil kembali silam
hanya menyisakan luka
lalu khidir itu, dengan kolam-kolamnya
mengajakku
pada sebuah kesaksian yang lain
sebuah kesaksian pada pohon trembsesi tua
dengan dahan-dahannya
pada hujan yang terus meluncur
dan pada salju
di pucuk-pucuk api
lalu mengukir diri di tebing
segala tebing
isyarat mengekalkan mimpi
pada abadi tapi adakah yang lebih nisbi dari penyaksian itu
kecuali hasrat untuk berbagi
dan memuja pembunuhan untuk sebuah kebangkitan
kebangkitan sang suksma pada anak-anak angsa

tapi malam telah menyuapkan mimpinya
seribu gunung tampak biru dan bercahaya
seribu palung tampak indah dan mempesona
dan jurang, jurang yang menganga
laksana pantat
serupa bibir
bibir yang mendengus dzikir
dzikir-dzikir penghujat langit

dan tubuh bumi yang telah sekarat
semakin sekarat
seakan-akan kiamat
datang dini, melumat garba, cendawan
dan segala yang ada lungkrah

bulbul hitam datang dan pergi
selaksa pandang hanya karang
mungkin ombak, hanya kecipak di perigi
lalu serdadu waktu menebaskan pedang

namun segala yang berumah
dengan tiang-tiang penyangga
dan ketakutan pada muksa adalah dusta
dan yang mengerti arti
darah
dan sementara
adalah jenazah
jenazah yang berguling di lahat
dengan kafan yang melekat
ia telah datang
sekaligus pergi
tapi ia bukan burung-burung keindahan
ia adalah indah yang nestapa, dalam kesendirian
dan merasakan dunia kiamat
pertama

ketika raga sirna, dan segala indera lenyap
segala yang bernama bibir
dan yang keluar dari bibir
hanya kentut, letupan-letupan udara
tanpa gelombang dan gerak dan busuk

di sebuah terminal
kusandarkan sebentuk sajak
untuk bersulang tuak
bersama ombak
di permadani, kutuangkan bahasa
dalam bilur-bilur aksara
sebuah tulisan yang bergerak
dan bernyawa

mungkin dengan tulisan, aku bisa merajam
otak, dengan lebih kejam, lebih kekal, dari sekedar anal
dan sang kelana akan menuntunku pada pengetahuan
tersembunyi
dari mata rabun
para pembual!

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Kalam Qadim

Ya maraja jaramaya

seribu ranjau telah menjebakku
untuk bertempik sorak
lalu aku berteriak
dan ledakan-ledakan memekak
telingaku berdarah-darah
dan segumpal tubuhku melesat
merasuk relung
relung laknat
jiwa
mengintip diri yang dikebiri dalam seutas tali
: bebaskan aku!

tapi aku laki-laki
bahasaku adalah dobrak
sekali tanganku mengayun ombak
segala dinding lantak
lalu kubopong suksmaku
dalam cahaya
mengatasi cahaya
melepas anak panah
seperti melepas tubuh yang fana
mengarungi segala lembah, bukit-bukit
dan renjana segala renjana
hingga ia jatuh tertelungkup
di kasursari
bermimpi bidadari
dan melumatkan sang putik dengan api
serbuksari

lalu kitab-kitab membuka diri
bahwa rahasia, segala yang disebut rahasia
adalah nista
seperti malam dengan bopeng topengnya
dan matahari dengan lidah persegi lalu rembulan merajut diri
dalam waktu antara
bahwa kidung, nyanyian dan persembahan bagi yang berjiwa
harus lekas meremas
hingga kulit mengelupas
lalu pintu-pintu terbuka
dan angin mempersilahkan tamu-tamunya untuk turun ke kesepian
menanting kendi, sebagai amsal
kendi
lalu mencecap puting-puting itu
dengan gelinjang, sahwat
dan kematian yang tiada berkesudahan
seperti lolong kesucian di palung malam
di antara labirin tak berhingga, yang berkelok, memutar
tiada lingkar
yang penuh
terus berjalan
melangkah
dalam gelap
hingga leher angsa pun terpenggal

yamarani niramaya

kini, kini yang mewujud dalam wujud
kekal
seperti rapal
untuk mengundang, sekaligus mengusir
dan burung-burung dengan paruh rapuh
mulai mengenal, bahwa kekejaman
bisa berawal dari lisan,
dari bahasa
dari tulisan yang menulis di cakrawala

dan sang atman jiwaku
mulai melupakan jiwa
seperti tentara yang telah lupa
bagaimana cara membunuh
dan menyergap
perempuan dengan sangkur terhunus
lalu adakah yang lebih tolol
dari keberadaan ini, kecuali mimpi benih
ingatan-ingatan yang suci
dan sebuah perjamuan di beranda
yang mengkultuskan kudus
lalu membongkar manusia
dari analnya, mengelupas usus,
dan mendedahkan empedu, getah bening
dan membeber hati dengan gigi taring menyeringai
sebuah isyarat, bahwa yang bernama tubuh
akan rubuh
dan lenyap

ya sihama mahasiya

mungkin dalam kata awal, semacam kalam
di ingatan
di belulang
dan pelepah korma
cahya bersatu jiwa
tapi siapa menyangka
jika cahya melumat darah
dan darah melumat cahya
dalam kurun tak berhingga
nol nol
kosong yang kosong

lalu sayap-sayapku dengan setangkai mawar
dan bulu
adalah sebuah ruang
dalam diri
untuk memberi peluang
pertempuran
saling rebut, cabut
lalu menancapkan kekuasaan
seperti belati menembus jantung dan tuntas

mimpi-mimpi
birahi
lenguh yang merenungi nafasnya dari buih
akan berangkat
dalam sebuah kapal senja
dan anak-anak turun menjemput waktu
dengan temali purba
dari rotan dan akasia

mungkin tubuhku
tubuh segala yang pernah kusentuh
seperti perempuanku, rerumput dan anak analku
akan berpendar di gugus cakra
berputar-berputar
dan sang sacra yang berdiam di sukma
berumah
di pinggir segala pinggir
seperti seorang gila yang tak lagi berpikir
tentang arti pelir
lalu mendedahkan madah-madah
di setiap orgasme
dan tak mengandaikan persetubuhan
hanya ada di ranjang
dengan nafas yang berat dan tajam

om awignam astu

aku adalah sabda
dan hitam rambutku adalah papirus tua
di sini, kesaksianku adalah baka
seperti kesaksian ruh pada bayangnya
seperti kesaksian dewa pada ciptaannya
dan sang lanun jiwaku tak akan berhenti
dalam satu titik
di antara ribuan titik
aku telah mencipta titik sendiri
dengan darah yang menetes dari leherku
leher-leher angsa
dan pelananganku

lalu kubaptis diriku sebagai penguasa
penguasa darah!

Surabaya, 2002


Sajak Mashuri


Pokeh Celeng Separoh
kepada kawan: Acong Sobirin

Ketika laut adalah tubuh perawan
dan kita sang nelayan
apa yang tersaji dalam lanskap malam
semacam lukisan di kanvas

mungkin maut, atau anak-anak turun ke pantai
dengan sarung, jubah atau tenung
di buritan
atau membeber tikar pandan, mengaji suluk-suluk
memeluk gelugu nyiur
dan mabuk
mendendangkan irama-irama agung
irama pertemuan, sekaligus perpisahan
mengundang waktu melulur buih dengan keretanya
seperti sepasang berpinang yang pamit
ke balik lazuardi untuk berumah dan pergi

tapi kita bukan terlahir sebagai pengecut
kita adalah pemuja
yang tak segan taruhkan darah
demi rasa angkuh
bila remang senja mengabur menjadi malam
dan malam memberi pilihan
kita mungkin tak bisa menampik
untuk menjatuhkan telunjuk
dan bersampan
seperti nampan yang berisi bunga
dan sesaji disebar di altar
sebagai ritual sembahyang, perang
dan persetubuhan
dan kita telah memilih

dan garba hitam itu menuntun indera kita
pada sebuah penyaksian
bahwa mimpi
lenguh sang jiwa
akan datang di suatu masa
ketika segala jalan, segala lubang
ditutup
dan kita berada dalam tabung kedap suara
dan berbincang dengan diri sendiri

dan perahu kita, dengan pintalan-pintalan ombak
dengan rambut-rambut perempuan yang berombak
adalah jalan
kita bisa berlayar menuju gugus kaki langit
dan menitipkan pesan pada waktu
bahwa janji pelaut, janji kita, adalah janji kematian!

dan di antara dua selat, antara dua bukit
dengan puncak-puncak api
kita bisa melunaskan birahi
bibir mendengus: rabbi, rabbi, rabbi
lalu bunga-bunga dari sang farji
dengan rerambut kecilnya
mulai memberkati
mengerling dengan gelombang pasangnya
hingga pusaran-pusaran arus membawa
tubuh tak beraga kita
pada sebuah ruang
ruang dalam
bukan sebuah tempat, atau saat
sebuah terminal yang tak mengenal awal
dan akhir

tapi
mungkin kita harus membiarkan tubuh
mengekal dan bisu
sebab segala indera seperti tak kuasa menerima kecipak buih, rembulan putih
dan padma dengan tatap mimpinya
kita masih bersetia dengan kegelapan!
mungkin kita harus mengajinya kembali
membuka lembar-lembar kitab
dan menuntun ingatan pada
relung garba
garba silam, tempat kita berbekam,
berdiam dan mengenali diri dengan sebilah pedang tajam

atau kita harus melarung diri
memuja senyap dalam pengorbanan
seperti tuah moyang
atau kita tak harus memilih
dan bersandar di tiang perahu, hanya merajut jala
merenda bunga
dari tepi
dan mengirimkannya dalam karangan bunga
nanti

dan lukisan yang tergores di beranda
memberi bukti
bahwa pelayaran kita belum sampai
sebelum kita melepas sangkur pejantan
dan menitipkannya di tritisan
di bawah payung hujan

dan perawan itu akan tetap berombak dengan gelombang pasang
mengundang kita untuk menemuinya
dan lenyap

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Di Bawah Payung Rembulan

perzinahan kita adalah sundal;
tapi ketika tanganku melingkar lehermu
kuingat tuhan mematahkan rusuk adam
dan menciptakan sebuah rahsia
lalu buah apel, yang jatuh di sebuah pagi
mengekalkan sebuah pertemuan
seperti burung pada piring rangsum
atau kuas pada kanvas

mungkin hanya sebuah bayang
lalu waktu memberinya nama: Hawa

tapi benarkah kita hanya saling cakap dalam bahasa gelap
sebatas nama, istilah-istilah,
dan kata tentang tubuh
sepenggal kepala, sepenggal lengan
dan sepotong gelambir kelamin kita
mungkin hanya angin, dalam sebuah gerak
yang menentukan pusaran
yang memberi kesaksian, bahwa
kita bukan penganut jalan sesat
kerna benak kita tersusun dari sejuta malaikat
dengan segudang nama-nama
yang berderet dari kaki langit
ke kaki langit
dan bilah-bilah bambu yang kita anyam, dalam purba
dalam sisa-sisa luka
telah membimbing kita
mengenali rumah, pelataran dan sebuah pendapa
dengan senampan mawar: tanda kematian

hanya mimpi kita
yang masih samun, berkerumun ulat-ulat
menunggu metamorfose
lalu kita mengejanya laksana isyarat,
morse, atau kedip bintang
dan kita: di bawah payung rembulan
mengekalkan perzinahan
di awal musim, sebelum bebunga memekarkan kuncupnya

sayang kita benar-benar liar dengan ranjang penuh kamboja
dan irama cinta mengiringi setiap ritual
tembang-tembang gaib melulur
tubuh
raib
di ranah tak bertuan
dan perzinahan kita kembali menjadi bayang-bayang
seperti awal penciptaan
ketika tuhan menciptakan kesempatan
yang pertama
pada sang lingga
untuk saling bersintuh, dalam riuh
dan sepi
dengan sang yoni

Surabaya, 2002
Sajak Mashuri


Amsal Ingatan
--Fitri Yuliasari

di bawah akasia, matahari tenggelam
bunga-bunga kuningnya menjelma hitam
dan pudar di mataku
lalu kulihat bayang-bayang perempuan
mengembalikan ingatan pada ibu
: ranah terumbu, ganggang biru
dan laut

mungkin hanya senja
tapi tak ada merah, cuaca seperti di bawah tempurung kelapa
dan sebuah titik di puncaknya
menyisakan sisa udara, celah yang nadir
tuk menguak takdir
dan malam yang tersaji
dengan meja perjamuan sederhana
lebih gelap dari gelap
dan rahsia

dan ingatan pada ibu
dengan sanggul bukitnya, sawah-sawah
dan gemericik air di pancuran
seperti keabadian
tapi ketika ingatan menjelma lupa
adakah amsal lain yang lebih fana

lalu di bawah akasia kusandarkan bayang-bayang
perempuan dan ingatan
seperti matahari tenggelam
lalu malam memanggil fajar
untuk mengembalikannya bersinar

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Mina

tubuh-tubuh putih, sebuah lorong,
dan arak-arakan
adalah kematian
laksana semut-semut yang berbaris
dan berangkat dalam sebuah garis
entah ke mana

lalu burung-burung memberi kabar
seperti ababil, dengan sorot mata yang lain
bahwa di sebuah tempat, bara tak lagi membakar
dan kafan hanya sisa kenangan
cahya membias pada prisma
dan memendarkan berjuta warna
mungkin lebih pelangi dari pelangi

tapi kenapa semua masih juga rahasia
seperti sebuah titik yang menyimpan kutuknya
dan semut harus merayap dinding
saling rapat
tuk menyapa dari dekat
lalu saling cakap
tiadakah jalan lain, semacam pengasingan
lalu waktu memenggal kepalanya
untuk tiriskan kehendak
dan memuja pertemuan, demi pertemuan
dan rahasia terkuak
dalam hitungan sekian detik
yang menentukan keabadian

mungkin banyak jalan menuju
dermaga
dan kematian masih juga bersetia dengan rahasia
dan anak-anak bisa menjemputnya
dengan rasa gigil, bugil
atau mabuk

Surabaya, 2002

Sajak Mashuri


Sang Alif

--RMP Sosrokartono


berdiri di gigir ombak
dengan tongkat alif, membaca gelombang
dengan gelombang dan sajak
sebab dalam diri, sepi
menjelma patung-patung es, dingin
sukma telah membaca sukma
dan menyaksikan labirin
tanpa membuka mata

tapi dengan mata terbuka
menghapus
jejak sementara
seperti sais yang telah mengenal kuda
kereta, roda-roda
dan suara cambuknya

Surabaya, 2002



Biodata singkat:

Mashuri. Lahir di Lamongan, 1976. Jebolan pondok pesantren Salafiyah Raudlatul Mutaallimin dan pondok pesantren Ta’sisut Taqwa Lamongan. Baru saja menyelesaikan studi di jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Surabaya, dengan skripsi: wacana dekonstruksi dalam novel Durga Umayi karya YB Mangunwijaya, meliputi wacana wayang, gender dan sejarah Indonesia mutakhir.
Tulisan-tulisannya --terutama puisi dan esei-- pernah dipublikasikan di Jurnal Kalam, Jurnal Puisi, Kompas, Media Indonesia, Surabaya Post, Karya Dharma, Memorandum, Jejak, Buletin Sastra Epik, dan beberapa majalah kampus, serta dalam antologi puisi bersama, seperti Refleksi (1995), Seribu Wajah Lilin (1997), Menguak Tanah Kering (2000). Juga aktif menulis puisi dalam bahasa Jawa, dan sering dipublikasikan di Jaya Baya. Baru saja menyelesaikan antologi puisi berempat Manifesto Surrealisme.
Aktif di Komunitas Teater Gapus Surabaya dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya, serta bekerja sebagai wartawan di harian pagi Memorandum Surabaya.

Alamat surat: Mashuri
D/a Memorandum Jl Pahlawan 118 (atas) Surabaya

Home | Vol 15 Table of Contents | Previous Issues