Home | Vol 17 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Kumpulan Puisi

Puisi-puisi Indra Tjahyadi

MEMAJANG LANGIT

Kupajang langit
Malaikat-malaikat merintih
Dalam tidur yang sepi
Bulan terbakar
Dan sajak-sajak lahir dari kebencian
Matahari. Aku tarik segenap luka
Dan bau busuk orang mati
Nafasku jadi buruk
Dan dipenuhi niat jahat yang suci
Aku ubah bumi jadi puing-puing
Bersekutu dengan iblis
Atau bayang-bayang hantu di malam hari
Aku tapaki jurang-jurang kegelapan
Yang ditorehkan burung-burung hering
Menatap kekuasaan dengan mata
Yang bengis. Kubiarkan
Lumpur-lumpur melompat dan banjir
Yak terbendung lagi. Menyeret mobil-mobil
Dengan darah dan seratus keringat musim:
O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
Jadi sungai-sungai sampah yang pesing
Ada bangkai-bangkai tikus
Dan para pengemis yang memberi makan
Kucing-kucing kurus. Seolah membuka-buka
Mimpi, meneteki tanah dengan seribu
Kebosanan yang keji
Ketika gelap sedemikian gaib
Dan bunyi hujan menjelma pesta
Dari seribu kematian yang picik
Aku berpegang teguh pada angin, mencari-cari
Maut pada segenap ranjang yang sedih
Dan dalam segenap hasrat yang paling jijik
Berlingkaran seperti seekor cacing
Menghisap puting-puting anyir
Dari pelacur-pelacur tua yang bunting
1998.

PADA MATAMU YANG BENING

Pada matamu yang bening
Tahajud daun-daun
Kuinsyafi dalam luka dan batu-batu
Bunyi-bunyi guruh meluap dan membutakan diamku
Bau-bau hujan seperti birahi-birahi musim
Yang menggeram dengan kapak dan sekalian palu
Dan ketika kilatan-kilatan petir memecut
Membakar langit dan pohon-pohon Randu
Seperti radang kesunyian yang melesatkan bara
Dan tombak-tombak unggun
Ribuan anggur kureguk
Lewat geliat gelubat kabut yang memeriahkan sedu
Seperti peronda-peronda kota
Yang selalu bertanggung jawab
Pada setiap hening dan lelehan-lelehan salju
Dari setiap sakit yang tak tersmbuhkan
Atau kudeta-kudeta panjang yang bergerak lambat
Seperti kristal nafasmu. Tapi belati-belati rindu
Adalah genangan-genangan darah yang mengombak pada bibirmu
Memerah seperti gincu, meledak seperti rastusan peluru
Akar-akar membasah, tapi waktu seperti kemaluan
Bumi yang rapuh. Kini, aku pun mencapai
Kebeningan kelabu. Dan jejak-jejak kaktus merancak
Menusuk kakiku, kubiarkan setiap pesta angin
Mengajariku bercakap dengan ratusan bangkai atau patung
Patung batu, mengajakku setubuh di samping ambalmu
Mengikhlaskan seratus pembunuhan seperti permainan marak
Dari cahaya dan kepompong-kepompong embun:
Tempat di mana sajak-sajak bermula dan para pejalan
Menyaksikan bendera-bendera dikibarkan seperti gelombang rambutmu
1998.

MANAL PRALAYA

Aku tak lagi berhadapan
Dengan harapan, kiranya. Menjelma
Kesenyapan yang dibawa jarak
Dan kematian. Serupa kerikil dan jalan
Jalan raya, hatiku pun penuh pengemis
Dan para pengamen
Membingkai kemiskinan, menyimpan
Kebencian pada mobil-mobil yang berjalan
Aku pulung segenap ganja
Dan bangkai-bangkai lelaki tanpa kepala
Memberitahu, bagaimana Maut bergerak
Mengayun-ayunkan kapak dan parang-parang juga
Aku sadar jika segala peristiwa
Telah menjelma hantu
Dan burung-burung yang melintasi selokan
Menemui bulan, juga gerhana penuh darah
Berserakan. Segenap gagasan jadi berledakan
Di kemaluanku, menyaksikan gedung-gedung
Tumbuh dan dibakar penduduk, di matamu
Menggali-gali kubur, menjilat-jilat gemuruh
Yang melumuri badai dan ratusan geludhuk
Semacam retakan-retakan batu yang terlempar
Ke arahmu, Neraka datang bersamaku
Berputar-putar, mencumbu pelacur-pelacur tua
Yang mesum. Seolah bersetubuh
Menciptakan bayang-bayang kabut dari kutu-kutu
Rambutmu yang harum, mengenyot puting-puting
Payudaramu, memilin klentit-klentit
Vaginamu yang penguk: di mana maling-maling ayam
Digantung, diarak sepanjang kampungmu
Sepanjang kampungku
1998.

GEHENNA

Aku berjalan ke arah matahari
Arak-arakan rama bagai larungan sampan di atas sungai
Styx yang merah. Dari puing-puing bekas
Gereja, kulihat bangkai-bangkai awan
Seperti lembaran-lembaran langit yang dilimpahi arwah
Dan warna gerimis yang padam. Tapi selalu gagal
Membaca aroma tanah, seperti letak puting
Susumu yang tegak bagai pilar-pilar bara dalam kobaran api
Atau pelukan sungai yang membawamu pada gerhana
Ada darah, bunyi-bunyi senapan seperti ledakan
Pada ambal yang payah. Dalam kegelapan
Yang mengubah dunia jadi Maut dan cahaya. Jadi ceceran ingus
Dari para pejalan yang kehilangan rumah dan peta-peta:
O engkaukah suara, gumpal-gumpal payudara yang melukis tahun
Dalam impian lazuardi dan sperma, dengan cuaca-cuaca
Yang tercekik dan tertahan pada laju taufan dan ombak, seperti rasa
sedih
Atau bahasa-bahasa kangkung yang menjadi isyarat lain bagi perdu:
Semacam anyelir atau pikiran-pikiran yang beracun
Barangkali mataku terlampau cemburu pada sesuatu yang tak ada
Dan lewat letupan-letupan sayap yang menghisap kupu-kupu
Dan seratus kunang, seperti seratus kata sunyi yang terbakar kelamin
Atau aku yang terus berjalan ke arah matahri
Meski harapan hanyalah manik-manik yang menutup musim dan menjadi
Sebuah kerabunan bagi hening: padang, di mana Kristus dan Judas
Bertukar tangkap dalam sepi, ketika salju mencair
Dan seluruh bumi terangkat, seperti bayang-bayang orang suci, sebelum
engkau
Tersadar dan aku menemukan jalan untuk kembali…
1998-1999.

SEPERTI PERCIKAN GERIMIS

Seperti percikan-percikan gerimis yang berkilau pada daun
Tombak-tombak musim melesatkan keperihanku
Anak-anak kunang berpendar dan melepaskan waktu
Butir-butir embun menyusut di dasar jejakku
Akar-akar menyerap setiap buluh kelabu
Rumput-rumput memeluh di sepanjang langkahku. Tapi seperti
Keheningan yang menjelma menara setelah jalan yang meliuk itu
Semuanya terlihat begitu berkilau dan runtuh
Seperti ingin menopang angin
Aku catat semuanya dalam sajak-sajak bening
Udara penuh kebisuan dan warna cuaca yang dingin
Seluruh kesunyian tegak dan menjelma retakan-retakan dinding
Lantas mencari aroma mayatku yang sedih
Kini, segalanya telah saling berhadapan dalam senyap yang nyaring
Meski patung-patung telah terbakar. Dan pada kuburan
Kesepianku yang asin seribu cahaya telah diterjunkan di sana
1999.

PANEMBRAMA

Di antara tabir tebing kelam
Dan ceruk jurang malam
Kubayangkan
Lekuk liuk tubuhmu yang sintal
Dadamu yang gumpal
Serta putik puting susumu yang terjal
Bagai pilar-pilar penyangga menara
Kesunyianku berdamai
Dengan seluruh luka dan lidah-lidah halilintar
Berdentam-dentam di penjuru mega
Berjuntaian bagai jenggot-jenggot kilat
Menjelma isyarat-isyarat tajam
Yang membakar awan
Dan seluruh gugusan cakrawala
Kenangan dan harapanku menjemput
Segenap ratap, juga harum aroma
Nafasmu yang swarga
Dan ketika bias binar bulan pucat, membentur
Dinding dan sekalian tembok-tembok plaza
Berusaha menginsyafi muram
Tapi selalu gagal meramalkan wajah malammu yang lindap
Lumut, akar dan rerumputan
Menyerap tuba keterasinganku yang pekat
Melesakkannya ke dalam farji bumi
Yang adas, lantas mendetakkannya kembali
Sebagai ribuan gempa
Di mana pelir penguk langit muncrat
Memuntabkan sperma, juga maki darahku yang laknat
Aku ingin sekali memberinya nama
Dengan seluruh hasrat
Dan kesendirianku yang bejat
Memeluk gerak gerah kesyahwatanmu yang giras
Membiarkan seluruh Maut bertandak
Bertayub dengan kafan dan seluruh kematian
Hingga mataku buta dan mayatku remuk berceceran
1999.

PERTOBATAN BURUNG-BURUNG

Kuikuti seribu laku
Yang menjelma pertobatan burung-burung
Kebisuan merupa retakan tanah
Yang mengekal pada batu
Kerinduan adalah bahasa lain
Yang menjelma bentuk-bentuk guratan pada perdu
Bayang-bayangku jatuh, melindap dan beku
Tak ada cahaya
Bahkan kegelapan menjelma suara-suara gaib
Yang diluncurkan kabut. Keperihan
Gerimis yang pemurah mengelus leherku
Lalu lidahnya yang hangat mencercap jasadku
Seperti orang-orang yang berciuman di balik gerumbul
Kesunyian merayapi makamku
O betapa kegamangan telah menjadi
Begitu mengerikan serupa
Gerak tanganmu. Tidurlah bersama burung-burung
Sebab setelah aroma angin yang senyap itu
Seribu musim telah berlalu. Seperti perahu-perahu
Dengan warna malam di lingkar lehermu
Kegalauan yang pemurah membunuh mayatku
1999.

FRAGMENTASI 191299

Lewat keheningan yang tak
Dibasuh Sorga
Kuurai serobu dzikir dan kata-kata
Yang tak diinginkan Tuhan. Kegelapan menjelma
Guntur yang meledak di utara. Lalu
Dari reruntuhan gedung-gedung dan menara
Seperti tarian-tarian lelawa
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Kerinduan-kerinduanku tak ubahnya
Patung-patung retak di taman
Taman. Harapan-harapanku serupa trowongan
Trowongan pengap dengan seribu pengemis
Yang tertidur di dadanya
Seperti persetubuhan antara musim dan derita
Dengan anak-anak kunang yang melingkarinya
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Seperti daun-daun yang runtuh
Dan dikuyupkan hujan
Aku adalah seribu tahun dalam penampakan
Bening yang merindukan Isa. Dan
Di antara barisan-barisan lumut yang ditumbuhi
Dinding-dinding rengat, menjelma sajak
Sajak lindap yang membekap dan begitu bebal
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Dikekalkan dari timbunan mayat
Dan anyir darah
Demikianlah, kuamini diriku, begitu perih
Dan terlunta. Dan pada seribu ledakan taufan
Menjeritkan seluruh persalinan gagak
Gagak. Seperti keriuhan para perusuh atau kota
Yang dibalur bara, dengan matanya yang bulat bejat
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
1999.

JL. KARANG MENJANGAN (Pk. 23.35)

Inilah kenyataannya
Jalan-jalan hitam yang senyap
Tahun-tahun gerimis yang suram
Seperti kata-kata yang tertahan
Dan hanya akan ditemukan dalam sayatan
Kota ini tak bernama
Keheningan ini tak bernama
Tapi di kedalamannya kita akan senantiasa menemukan
Bagaimana pesona sayap-sayap kesunyian
Melesatkan seluruh tombak cahayanya ke Sorga
2000.

BIODATA

Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta 21 Juni 1974. Alumnus Faksas Unair. Menulis esai, puisi dan cerpen. Juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya termuat di Horison, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Karya, Annida, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Santri, Mimbar Pembangunan Agama, Jaya Baya, Surabaya Post, Surabaya News, Penabur, Jawa Pos, Bali Post, Waspada, Lampung Post, Analisa, Pedoman Rakyat, Sriwijaya Post, Memorandum dan Karya Darma. Juga di beberapa kumpulan puisi bersama, antara lain: Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Seribu Wajah Lilin (Gapus, 1997), Rumah Yang Kering (FS3LP, 1997), Luka Waktu; Antologi Puisi Penyair Jawa Timur ’98 (Taman Budaya Jawa Timur, 1998), Penunggang Lembu Yang Ganjil (Dewan Kesenian Surabaya, 2000), Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (Kompas, 2001), Hjau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002) dan Manifesto Surealisme (FS3LP, 2002). Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Puisinya yang berjudul Senja Terus Menetes pernah dibacakan di Radio Deutsche Welle. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris termuat di Big Lick Literary Review; a Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal. Kini, sehari-hari bekerja sebagai redaksi di media sastra & seni ANARKI.

Address: Jl. Potro Agung II/5, Surabaya 60135. Telp. 08155224115.

Email: indra_tjahyadi@yahoo.com

Home | Vol 17 Table of Contents | Previous Issues